Senin, 15 Desember 2008

psikiatri


Waspadai Kecanduan Internet

Jakarta, Kompas - Kecanduan internet dengan berbagai aplikasinya dalam kadar yang menggelisahkan patut diwaspadai. Sebelum ada anggota keluarga yang terjerat, intervensi harus segera dilakukan.

”Kecanduan membuat semuanya tak terkontrol, yang salah satunya berdampak pada situasi antisosial,” kata guru besar emeritus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Fawzia Aswin Hadis, dalam simposium ”Mengantisipasi Problema yang Berhubungan dengan Adiksi Internet” yang diadakan Forum Komunikasi Rumah Sakit Jiwa Swasta/ Praktik Kedokteran Jiwa Swasta di Jakarta, Sabtu (13/12).

Adiksi atau kecanduan merupakan kondisi terikat pada kebiasaan yang sangat kuat dan tak mampu lepas dari keadaan itu. Seseorang yang kecanduan merasa terhukum apabila tak memenuhi hasrat kebiasaannya.

Kecanduan internet di antaranya terjerat games, akses situs porno, akses bermacam informasi, serta aplikasi lain. Pencandu tidak dapat mengontrol diri sehingga mengabaikan kegiatan lainnya. Umumnya, pencandu asyik sehingga lupa waktu, sekolah, pekerjaan, lingkungan sekitarnya, hingga kewajiban lain. Tak jarang pencandu berhari-hari tidur di warung internet.

”Itu terjadi karena yang bersangkutan memperoleh kesenangan, kenyamanan, dan keasyikan dari aplikasi internet yang diaksesnya,” kata Fawzia. Jika internet membantu seseorang menghilangkan stimulus tak menyenangkan yang dihadapinya, ia akan terus mengulanginya hingga kecanduan.

Tak heran bila sebagian besar pencandu internet adalah mereka yang memiliki kepercayaan diri rendah atau kekurangan lain. Pasalnya, mereka akan tetap eksis tanpa siapa pun (komunitas virtualnya) tahu siapa dirinya.

Praktisi psikiater anak Elijati D Rosadi SpKJ (K) mengatakan, hampir semua pasien yang dibawa kepadanya sudah masuk tahap kecanduan. Anak-anak itu memiliki kebiasaan berbohong atau kognitif yang lemah.

Pencandu yang dipicu konflik keluarga mengaku kepada komunitas virtualnya, ia tak butuh keluarga lagi.

Menurut pernyataan para psikiater yang hadir, tren pasien kecanduan internet pada anak terus meningkat cepat dalam dua tahun terakhir. Demikian diungkapkan psikiater anak RSCM, Ika Widyawati SpKJ (K), dan psikiater anak Rumah Sakit Jiwa Bandung, Lelly Resna SpKJ (K).

Menurut para psikiater anak, kecanduan itu dapat dicegah jika orangtua dan orang dewasa berperan aktif. ”Berikan pemahaman untung ruginya atau konsekuensi sesuai umur masing-masing. Internet terbukti sangat bermanfaat selama masih bisa kita kontrol,” kata psikiater Richard Budiman SpKJ, pengelola Sanatorium Dharmawangsa, tempat puluhan psikiater praktik.

Orangtua dan anak-anaknya pun bisa membuat kesepakatan bersama mengenai waktu dan lama mengakses internet. Situs dan jenis permainan yang diakses pun patut diketahui orangtua. Pembiaran hanya akan membuat kecanduan menjadi soal waktu.

Sebagian besar peserta sepakat bahwa melarang anak sama sekali mengakses internet bukan solusi. Pasalnya, internet mudah diakses di mana-mana dengan tarif terjangkau.

Pengobatan bagi yang kecanduan, kata Elijati, di antaranya psikoterapi, obat antipsikotik, antidepresi, dan terapi keluarga. Akar masalah yang memicu anak lari ke internet pun harus diketahui.

”Pengobatannya tidak mudah karena harus melibatkan banyak hal,” kata Elijati, yang disetujui psikiater lainnya. (GSA)

Minggu, 14 Desember 2008

Gelisah dan Tertekan Setelah Melahirkan


KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images
Wanda (38) dan tiga anaknya, Raffin (2,5), Vian (10), dan Darren (5).

Lusiana Indriasari

Hamil dan melahirkan adalah masa yang sangat melelahkan bagi perempuan. Bukan hanya fisik yang terkuras, tetapi juga psikis. Karena berbagai sebab, sebagian perempuan mengalami depresi pasca-melahirkan.

Setelah melahirkan anak keduanya, Ruli (35) mendadak bersikap ganjil. Ia menolak menyusui dan merawat si kecil. Bahkan terkadang Ruli punya perasaan benci terhadap bayinya sendiri.

Sikap aneh itu berlarut-larut hingga Juve berumur hampir satu tahun. Selama itu pula Ruli menyerahkan perawatan anak keduanya tersebut kepada ibunya, nenek Juve.

Meskipun tinggal serumah, Ruli lebih sering mengabaikan Juve. Ketika Juve rewel, Ruli terlelap tidur. Pada saat Juve merengek minta digendong, Ruli malah beringsut pergi.

”Satu-satunya keadaan yang membuat saya sedikit tergerak adalah ketika Juve sakit,” kata ibu dua anak itu. Setelah Juve sembuh, sikap Ruli berbalik seperti semula.

Sikap Ruli terhadap anak pertamanya, Gio (5), sangat berbeda. Terhadap Gio, Ruli bersikap selayaknya ibu. Ia sangat memerhatikan segala kebutuhan Gio, baik fisik maupun mental.

Ruli mengaku tidak tahu mengapa setelah Juve lahir ia justru tidak peduli terhadap anaknya. Padahal, sebelumnya ia sangat mengharapkan kehadiran anak keduanya itu.

Ruli lalu bercerita tentang perkawinannya. Ketika usia kehamilannya semakin tua, hubungan Ruli dengan Max (41), suaminya, mulai tidak harmonis. Instingnya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya.

Setelah Juve lahir, Ruli menemukan kenyataan suaminya sudah punya istri sebelum menikah dengan dia. Max bahkan belum bercerai dari istri pertamanya itu.

Kejadian itu membuat Ruli terpukul. Keadaan semakin menekan Ruli ketika uang belanja dari suaminya semakin berkurang. ”Setiap kali melihat Juve saya selalu ingat kebohongan suami,” tutur Ruli.

Tidak siap

Ruli adalah satu dari sekian banyak kasus depresi pasca-melahirkan yang kerap dialami ibu setelah melahirkan anaknya. Sebagian ibu mengaku tidak siap ketika depresi datang meski mereka punya pengetahuan tentang kondisi tersebut selama masa kehamilan.

Shanti (30) yang pernah bekerja di Jakarta dan kini tinggal di Yogyakarta mengungkapkan, ia banyak membaca soal baby blues dan depresi pasca-melahirkan, tetapi tidak sadar ketika depresi itu tiba.

Saat depresi datang, Shanti tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya. Yang ia rasakan adalah setelah melahirkan Iyog (8), Shanti menjadi sangat gelisah dan cemas.

Shanti merasa mendapat beban mengurus anaknya sendirian di Jakarta karena suaminya, Alan (31), harus bekerja di luar kota. Shanti tidak bisa ikut suaminya karena masih bekerja.

Karena sendirian dan belum punya pengalaman, Shanti dibantu ibunya untuk merawat Iyog. Tetapi, bantuan ini justru membuat dia semakin terpuruk.

”Ibu saya sangat tenang dan mahir merawat bayi. Iyog juga lebih tenang bersama neneknya, sementara bila berdekatan dengan saya, Iyog menangis terus. Saya jadi merasa tidak becus menjadi ibu,” tutur ibu dua anak ini.

Ketika anak keduanya lahir, Shanti juga mengalami rasa gelisah dan cemas, tetapi tidak sehebat ketika melahirkan anak pertama.

Kalau Shanti merasa tidak bisa merawat bayi, Wanda Hazman (38) justru mengalami perasaan ”cemburu” terhadap bayi pertamanya, Vian (sekarang 10 tahun).

Ibu rumah tangga yang tinggal di Bintaro, Tangerang, itu merasa setelah anaknya lahir, seluruh perhatian keluarga besar tertuju kepada Vian. ”Selama hamil saya sangat diperhatikan keluarga dan suami. Setelah anak lahir perhatian itu seperti direbut,” kata Wanda.

Karena kerap tidak bisa mengendalikan diri, depresi yang dialami ibu melahirkan ini bisa menimbulkan permasalahan di dalam keluarga, baik itu dengan suami, orangtua, atau keluarga besar.

Shanti mengaku sering cemberut kepada ibunya hanya gara-gara perbedaan cara merawat bayi. Shanti ingin merawat bayi seperti teori yang diajarkan di dalam buku, sementara ibunya merawat bayi berdasarkan pengalaman yang dia miliki. ”Mungkin karena sudah jengkel, ibu akhirnya ikut cemberut juga he-he-he,” kata Shanti.

Butuh dukungan

Depresi yang dialami perempuan melahirkan sebaiknya segera mendapat penanganan. Menurut psikiater sekaligus konsultan Women’s Mental Health di Surabaya, Nalini Muhdi, depresi yang dibiarkan berlarut-larut dapat memengaruhi hubungan ibu-anak.

Bila ibu stres, anak bisa mengalami gangguan perkembangan, seperti gangguan kognitif, bahasa, emosi, dan tingkah laku. Menurut Nalini, bayi memiliki perasaan sangat sensitif terhadap lingkungan interpersonalnya.

Karena itu, agar perempuan melahirkan segera terbebas dari depresi, dibutuhkan dukungan dari orang-orang di lingkungan sekitarnya. Dukungan itu bisa berasal dari suami, orangtua, atau sahabat.

Ruli berangsur bisa menerima kehadiran Juve setelah ia sering dikunjungi sahabat lamanya. Kunjungan itu sangat berarti buat Ruli karena ia bisa menceritakan semua keluh kesahnya. Sebelumnya, Ruli sempat pergi ke psikiater, tetapi ia enggan kembali berobat karena malu.

Sementara itu, Shanti dan Wanda bisa bangkit dari depresi setelah empat bulan berkat dukungan dari suami masing-masing. Wanda mengaku perhatian-perhatian kecil yang diberikan suami, seperti sapaan halus saat ia lelah, perlahan mengobati tekanan mentalnya. Sedangkan Shanti pulih setelah sering berkomunikasi dengan suami soal depresinya.

Depresi Bukan "Baby Blues"



DOKUMENTASI SHANTI / Kompas Images
Shanti (30) pernah merasa tak berdaya sebagai ibu.
Minggu, 14 Desember 2008 | 03:00 WIB

Orang biasa menyamakan kondisi depresi pasca-melahirkan dengan baby blues. Padahal, kata Nalini Muhdi, psikiater dari Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, depresi pasca-melahirkan dan baby blues adalah dua kondisi berbeda.

Menurut Nalini, baby blues dan depresi pasca-melahirkan adalah gangguan alam perasaan yang terjadi pada perempuan terkait dengan kelahiran anak.

Bedanya, baby blues hanya terjadi dalam waktu singkat antara 3-14 hari, sedangkan depresi pasca-melahirkan bisa terjadi dalam rentang waktu satu tahun. Baik baby blues maupun depresi-pasca melahirkan bisa terjadi bukan hanya pada kelahiran anak pertama saja.

Baby blues adalah kondisi normal pada perempuan setelah melahirkan. Sekitar 80 persen perempuan melahirkan mengalami baby blues. Kondisi ini disebabkan perubahan hormon yang cepat serta stres fisik dan emosi karena melahirkan.

Perubahan hormon dan stres ini menyebabkan ibu mengalami ketidakstabilan suasana hati, mudah menangis, gampang sedih, kurang konsentrasi, dan merasa bergantung kepada orang lain.

Depresi

Depresi pasca-melahirkan lebih berat daripada baby blues. Gangguan alam pikiran karena depresi bisa terjadi selama berbulan-bulan (dalam rentang satu tahun) setelah kelahiran.

Menurut Nalini, depresi pasca-melahirkan dipicu tiga faktor saling berinteraksi, yaitu faktor biologis, psikologis, dan faktor sosial.

Perempuan yang berisiko terkena depresi antara lain yang memiliki riwayat depresi pada keluarga, pernah menderita depresi sebelumnya, hubungan buruk dengan suami atau tidak ada suami, kurang dukungan dari orang dekat, masa kanak-kanak yang sulit, komplikasi saat melahirkan pada ibu dan bayi, usia ibu terlalu muda atau tua, memiliki anak tanpa diharapkan, dan kesulitan keuangan.

Menurut penelitian Nalini, 15-20 persen perempuan melahirkan mengalami depresi. Ibu yang mengalami depresi dihinggapi perasaan marah, tertekan, bersalah, bingung, waswas, kesal, murung, dan khawatir.

Harapan yang tidak realistis juga bisa menyebabkan depresi. Mitos bahwa setiap ibu memiliki insting mengasuh sehingga pasti dapat merawat anaknya, bahwa setiap ibu langsung dapat terhubung secara positif dengan bayinya, bahwa kehidupan seorang ibu diliputi kebahagiaan dan romantis, dan bahwa memiliki kehadiran bayi dapat memperbaiki kehidupan perkawinan, adalah menyesatkan.

Kenyataannya, tandas Nalini, tugas pengasuhan anak bukan hal mudah dan perlu proses belajar agar ibu punya rasa percaya diri menjalani perannya sebagai ibu. Nalini menasihati, jangan ragu meminta bantuan. Meminta bantuan bukan berarti seorang perempuan tidak mampu menjadi ibu. (IND)