Minggu, 14 Juni 2009

Inses, Apa Itu?

Sawitri Supardi Sadarjoen psikolog

Inses adalah hubungan seks di antara dua lawan jenis yang memiliki hubungan darah/keluarga sangat dekat, seperti kakek dengan cucunya atau ayah dengan anak kandung perempuan atau di antara kakak-beradik sekandung.

Memang pada beberapa abad lalu di Mesir dibenarkan hubungan inses antara raja dan adik perempuannya, tetapi umumnya di berbagai budaya relasi seksual inses amat terlarang dan ditabukan.

Berbagai variasi inses masih sering mewarnai fantasi remaja, misalnya, membayangkan hubungan seks dengan ibu, ayah, atau saudara perempuan, tetapi hal tersebut hanya dibenarkan dalam fantasi seksual erotis yang dipicu perkembangan dorongan erotis dan seksual masa remaja. Dalam dunia nyata, inses tidak boleh dan sangat dilarang.

Bila kita telusuri, larangan inses sebenarnya sangat terkait dengan atribusi biologis yang menyatakan hubungan seksual antara pasangan sedarah akan membahayakan kondisi keturunan. Penelitian modern membuktikan, kematian, retardasi mental, dan cacat bawaan pada anak yang dilahirkan sebagai hasil hubungan inses sangat tinggi.

Bentuk umum yang sering terjadi adalah hubungan inses antara kakak laki-laki dan adik perempuan yang antara lain dipicu rendahnya kualitas tatanan moral dalam keluarga atau eksperimen seksual yang karena kebutuhan pemenuhan rasa ingin tahu tentang seks dan seksualitas di antara saudara sekandung berlawanan jenis, dalam kisaran usia remaja mula.

Kondisi sosial ekonomi yang rendah pun membuat keluarga mengalami keterbatasan kamar tidur sehingga memaksa mereka harus berbagi kamar dengan saudara sekandung berlawanan jenis. Kondisi tersebut akan membuka peluang terjadinya hubungan inses.

Hal yang sangat memprihatinkan adalah bila terjadi pengalaman inses, konsekuensi traumatis justru akan lebih dialami remaja perempuan yang terlibat yang di kemudian hari berkembang menjadi rasa salah berkepanjangan pada diri mereka.

Mereka kemungkinan besar akan memiliki sikap negatif terhadap seksualitas yang pasti merugikan kesejahteraan mental mereka di kemudian hari. Andaikan akhirnya mereka bisa toleran terhadap perasaan bersalah, tetapi cepat atau lambat mereka akan mengetahui perilaku inses sangat dilarang oleh lingkungan masyarakat mereka. Pemahaman tersebut tentu saja akan memicu perkembangan perasaan rendah diri berkepanjangan pula. Apalagi bila kemudian mereka menyadari selaput daranya sudah tidak utuh oleh hubungan inses tersebut.

Kasus

Suami-istri K datang untuk berkonsultasi, Mereka menyatakan keheranannya akan anak gadisnya (N) yang sudah berusia 23 tahun, belum juga punya pacar. Setiap ada laki-laki berminat, serentak dia tolak, bahkan terkadang dengan cara terkesan kasar. Mereka berharap mendapat menantu yang mapan secara ekonomi karena menurut kedua orangtuanya N cukup rupawan dan banyak laki-laki mapan menunjukkan niat serius untuk menikahi N.

Ketika N akhirnya memenuhi panggilan saya sebagai psikolog, ternyata memang benar N perempuan rupawan. N juga satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara. N rupanya sudah tahu kedua orangtuanya berkonsultasi tentang masalah perjodohannya. Jadi, saat memenuhi panggilan, N langsung menangis tersedu-sedu dan dengan tersendat ia bercerita.

Kakak laki-laki nomor dua amat menyayangi N. Mereka terpaut usia dua tahun. Dia selalu menjaga ke mana pun N pergi, dan hubungan mereka amat erat, bermain bersama, dan selalu membela N saat kedua saudara lainnya mengganggu.

Keterbatasan kondisi sosial ekonomi kedua orangtua memaksa mereka tinggal di rumah yang hanya memiliki dua kamar tidur sehingga keempat anak berbagi satu ruang tidur dengan dua tempat tidur cukup untuk tidur dua anak.

N dan kakak tersebut terpaksa tidur satu tempat tidur, sementara dua saudara kandung lainnya di tempat tidur yang lain. Hubungan inses terjadi saat N berusia 15 tahun dan terjadi berulang. Bahkan, bila kakak tidak melakukan karena punya kesibukan dengan teman-temannya, N merasa rindu. Hubungan berlanjut hingga mereka cukup dewasa. Walaupun si kakak sudah bekerja di luar kota, manakala si kakak pulang hubungan terulang tanpa setahu siapa pun di rumah. Yang masih menguntungkan dalam kondisi ini adalah tidak pernah terjadi konsepsi sebagai hasil inses.

Dalam hal ini N benar-benar merasa bersalah dan berdosa. Selain tidak bisa memenuhi harapan orangtua, N juga menyadari hubungan inses sangat terlarang. N juga tidak berani menjalin hubungan serius dengan kawan lawan jenis, apalagi untuk tujuan berumah tangga karena N merasa bukan gadis lagi.

N tidak berani berterus terang kepada kedua orangtuanya karena yakin akan membuat mereka terkejut sehingga dengan berat hati ia memohon maaf kepada orangtua dan meminta izin tidak menikah, memilih berkarier mandiri, tanpa berani mengungkap kejadian sebenarnya. Hal lain yang terpenting adalah N berniat kuat untuk menghentikan hubungan inses dengan si kakak.

Selasa, 09 Juni 2009

Prita, Apa Salahmu?

Itet Tridjajati Sumarijanto

Entah mimpi apa, Prita Mulyasari harus masuk penjara. Entah mimpi apa pula, RS Omni Internasional masuk berita yang merusak reputasi lembaga itu.

Sekian tahun lalu tujuan berdirinya RS swasta modern adalah untuk mencegah pasien lari ke luar negeri. RS swasta tumbuh marak. Sayang, pembangunan rumah sakit-rumah sakit swasta baru sebatas mewahnya gedung dan peralatan canggih. Sedikit manajemen RS mewah memerhatikan kualitas pelayanan secara komprehensif yang didambakan pasien. Masih banyak pasien berobat ke negara tetangga.

Industri kesehatan

Kini, pelayanan kesehatan sudah menjadi industri, maka berlaku hukum ekonomi. Makin tinggi harga, makin tinggi kualitas barang yang diterima.

Hal serupa berlaku untuk kasus Prita. Dengan biaya RS yang tidak murah, semua layanan yang diterima harus seimbang. Keluh kesah Prita melalui e-mail kepada teman-teman seharusnya ditangani arif dan merupakan peringatan bagi RS untuk introspeksi, bahkan RS itu harus memberikan kompensasi. Jika saja jaksa tidak menahan Prita, bumerang terhadap RS Omni tak akan terjadi.

Tulisan ini adalah analisis e-mail Prita dari sudut medical record atau DRM (dokumen rekam medis). Masalahnya sepertinya sepele, tetapi fatal.

Pertama, RS tidak mau memberikan hasil pemeriksaan laboratorium untuk trombosit yang 27.000 iu meski pemeriksaan diulang dua kali. Kemungkinan bagian lab memberikan data yang salah atau milik pasien lain. Karena Prita awam, dia menggunakan kata ”fiktif” untuk hasil itu. Kemungkinan bisa dikatakan lalai karena hasil lab berada di pihak manajemen rumah sakit. Normalnya, tiap data pasien harus menjadi bagian DRM yang boleh diketahui pasien. Jika datanya benar dan tercantum dalam DRM, kasus menghebohkan ini tak perlu terjadi. RS bisa memberikan fotokopi DRM yang menjadi hak Prita.

Kedua, RS tidak memberikan data DRM yang diminta. Pertanyaannya, apakah RS tidak tahu bahwa itu adalah hak pasien. Atau data DRM tidak lengkap menggambarkan secara kronologis, sampai pada kesimpulan bahwa pasien terkena DBD.

Ketiga, manajer RS seorang dokter, meminta pasien (dalam keadaan sakit) menceritakan kembali apa yang terjadi. Ini ironis sekali. Bukankah dokter bisa membaca urutan kejadian dari DRM, mulai pukul berapa pasien diterima di UGD sampai menjadi pasien rawat inap; mulai dari anamnesis, data yang bersifat subyektif dari pasien sampai data obyektif melalui pemeriksaan fisik dan data penunjang medis. Yang terpenting ditanyakan adalah apakah pasien alergi terhadap obat, bahkan makanan tertentu.

Bergesernya angka lab pemeriksaan trombosit dari 27.000 iu menjadi 180.000 iu dalam waktu singkat perlu menjadi bahan evaluasi dokter. Apakah secara empiris ini pernah terjadi atau ada sesuatu yang janggal. DRM berperan penting sebagai alat untuk evaluasi kinerja dokter, perawat, bahkan petugas administrasi yang mendata identitas pasien.

Dari uraian itu, kemungkinan dokter tidak tahu arti pentingnya DRM. RS tidak membuat kebijakan penting DRM yang berkualitas yang harus diciptakan oleh siapa saja yang berkontribusi terhadap terciptanya DRM.

Tak beri keterangan

Soal dokter tidak memberikan keterangan obat yang disuntikkan merupakan etika komunikasi yang kerap menjadi bagian terlemah para dokter dan perawat. Inform consent (IC) minimal diperlukan saat pasien akan rawat inap, terutama jika ada tindakan (operasi) yang akan dilakukan dan saat DRM diperlukan sebagai bukti di pengadilan. Namun, apa saja yang diperlukan untuk IC bergantung pada kebijakan RS, misalnya untuk memberikan suntikan apa perlu IC.

Dalam aspek hukum, DRM menjadi alat bukti seluruh layanan yang diberikan RS terhadap pasien. Jika Prita harus berhadapan dengan pengadilan, DRM dipakai sebagai bukti dan dibawa seorang ahli medical record yang harus disumpah lebih dulu bahwa ia tidak menukar, mengurangi, atau menambah data atau informasi dalam DRM.

Perkembangan DRM di RS belum menjadi prioritas. Secara fundamental DRM merupakan salah satu alat guna meningkatkan mutu layanan rumah sakit, terutama dokter. RS pendidikan, seperti RSCM bersama UI, bertanggung jawab mencetak dokter, perawat berkualitas internasional, karena RSCM adalah RS Rujukan Tertinggi Nasional. Inilah yang harus diperhatikan siapa pun yang ingin mendirikan RS bertaraf internasional. Semua staf, terutama dokter, juga harus berkualitas internasional.

Kasus seperti Prita banyak yang tidak terungkap. Ini adalah wake up call bagi RS. Siapa yang berwenang memantau dan mengevaluasi mutu dokumen rekam medis di Tanah Air? Jika layanan rumah sakit di Indonesia serius mau bersaing dengan negara tetangga, itu adalah syarat utama yang harus dipenuhi.

Itet Tridjajati Sumarijanto Medical Record Administrator

Kamis, 04 Juni 2009

Prita "Lawan" RS Omni

Kartono Mohamad

Secara formal, pada umumnya penyedia layanan medis mengakui bahwa pasien mempunyai hak. Tetapi, dalam praktik, tidak banyak penyedia layanan medis yang memerhatikan atau bahkan memahami hal ini. Yang lebih sering diperhatikan hanyalah kewajiban pasien, terutama kewajiban untuk membayar.

Hal ini terutama akibat pola hubungan tidak seimbang antara pasien dan dokter, dengan dokter pada posisi yang lebih kuat dan dominan. Seolah sudah menjadi paradigma bagi para dokter bahwa pasien harus tunduk, menurut kata dokter, dan tidak boleh mengajukan banyak pertanyaan. Pemahaman bahwa pasien mempunyai hak tidak diperoleh ketika dalam pendidikan sehingga mereka akan merasa aneh jika dalam praktik ada pasien yang menanyakan banyak hal.

Namun, kini ketentuan bahwa pasien punya hak sudah dikukuhkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 52 disebutkan ada lima hak pasien, yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.

Banyak versi mengenai hak pasien ini, baik dari yang sudah menjadi UU maupun yang berupa pernyataan atau kesepakatan perkumpulan. World Medical Association mengeluarkan Deklarasi Hak Pasien dan American Hospital Association mempunyai A Patient’s Bill of Rights.

Semua pernyataan dan UU itu menyatakan, pasien mempunyai hak yang harus dihormati ketika ia berhadapan dengan penyedia layanan medis. Ada hal-hal yang disebut dalam UU atau deklarasi di negara lain yang belum secara eksplisit diutarakan oleh UU Praktik Kedokteran kita, yaitu hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang tidak diskriminatif, hak untuk dihormati dan dilindungi privacy-nya, dan hak untuk secepat mungkin mendapatkan solusi atas komplain yang diajukan terhadap penyedia layanan.

Tujuan

Di Amerika Serikat, UU tentang hak pasien dihasilkan oleh US Advisory Commission on Consumer Protection and Quality in the Health Care Industry pada tahun 1998. Disebutkan, pada intinya tujuan Patient’s Bill of Rights adalah, pertama, membuat pasien merasa lebih percaya terhadap layanan kesehatan. Kedua, menjamin bahwa penyedia layanan kesehatan akan bersikap adil (fair). Ketiga, penyedia layanan akan berusaha memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pasien (works to meet patient’s needs). Keempat, membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

Betapapun, keberhasilan upaya penyembuhan pasien amat bergantung pada rasa percaya yang imbal balik antara pasien dan dokter. Kepercayaan inilah yang harus selalu dijaga oleh penyedia layanan medis. Tanpa ada rasa percaya dari pasien, tidak mungkin upaya penyembuhan akan berhasil. Kecuali jika tujuan penyediaan layanan bukan untuk membantu kesembuhan pasien, tetapi semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak dan secepat mungkin dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien.

Dalam mencoba memberikan layanan terbaik, penyedia layanan harus juga siap menghadapi konflik yang dapat terjadi. Konflik dapat terjadi antara perbedaan persepsi dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan ”bahasa” dokter dengan pasien, dan ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik. Perasaan sebagai kasta tersendiri yang berada di atas kasta pasien dapat berperanan terjadinya komunikasi yang tidak empatik tersebut.

Prita dan Omni

Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni adalah contoh telah hilangnya komunikasi yang empatik itu, yang kemudian merusak rasa saling percaya yang seharusnya dibina. Maka, jika tujuan pelayanan kepada Prita adalah untuk membantu menyembuhkannya dari penyakit, tujuan itu telah gagal. Jika ditanyakan siapa yang bersalah dalam hal ini, kedua pihak akan mengklaim sebagai yang benar. Prita mempersoalkan mengapa hasil laboratorium yang menyatakan bahwa trombositnya 27.000 tidak boleh dilihat. Pihak RS Omni menyatakan, hal itu belum divalidasi, jadi masih rahasia. Menjadi pertanyaan, jika masih rahasia, mengapa Prita sudah mengetahuinya? Bukankah saat ia dianjurkan untuk dirawat, ada dokter yang menjelaskan trombositnya 27.000?

Rasa percaya Prita sebagai pasien menjadi lebih menurun lagi saat pertanyaannya tentang obat suntik yang diberikan tidak mendapat jawaban yang jelas. Mungkin pertanyaan Prita yang bertubi-tubi membuat pihak RS Omni tidak berkenan. Maka, rusaklah hubungan saling percaya antara penyedia layanan dan yang dilayani. Masalah melebar menjadi pengungkapan kekesalan melalui e-mail dan perasaan tersinggung dari pihak RS Omni yang merasa dicemarkan nama baiknya.

Persoalan yang bermula dari pertanyaan sederhana dari seorang pasien yang ingin tahu dan merasa meminta haknya berkembang menjadi masalah yang ruwet karena pihak RS Omni membalas e-mail Prita dengan iklan besar-besar di koran.

Kesan orang awam, dan mereka yang tidak tahu masalahnya karena tidak membaca e-mail, telah terjadi unjuk kekuatan yang tentu saja tidak imbang. Hal itu diperburuk dengan ditahannya Prita di penjara Tangerang. Seandainya saja saat itu RS Omni bertindak simpatik dan meminta agar Prita jangan ditahan karena mempunyai anak yang masih kecil, keadaan mungkin justru akan berbalik.

Pelajaran

Yang telah terjadi di Tangerang itu membuktikan bahwa pada umumnya penyedia layanan medis di negeri ini belum berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. Orientasi pada mutu layanan juga belum menjadi acuan.

Kalau menurut Charles B Inlander dalam buku Medicine on Trial, masih banyak medical ineptitude and arrogance yang membayangi penyedia layanan medis. Perbaikan pertama-tama harus datang dari pihak kalangan kedokteran sendiri, kemudian asosiasi rumah sakit, dan pemerintah.

KArtono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Selasa, 07 April 2009

Rendah, Komitmen Politik terhadap KB


Beberapa Pemerintah Daerah Hanya Berpikir Lima Tahunan

Kompas/Priyombodo
Diskusi terbatas mengenai keluarga berencana dan kependudukan berlangsung di harian Kompas, Jakarta, Senin (6/4). Diskusi dihadiri oleh narasumber, seperti (kiri-kanan) Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Muhadjir Darwin, Kepala Puslitbang KB-KR BKKBN Ida B Permana, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas Nina Sardjunani, Kepala Lembaga Demografi FE-UI Prof Sri Moertiningsih Adioetomo, serta Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Ascobat Gani.
Selasa, 7 April 2009 | 03:27 WIB

Jakarta, Kompas - Komitmen politik pemerintah daerah terhadap program Keluarga Berencana terbilang rendah setelah urusan KB diserahkan ke daerah. Dari 485 kabupaten dan kota yang ada di Indonesia, baru 64 persen yang memiliki lembaga yang mengurus KB.

”Beberapa pemerintah daerah lebih mementingkan pembangunan fisik dan bersifat jangka pendek lima tahunan,” kata Kepala Puslitbang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KB/KR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr Ida B Permana pada diskusi di harian Kompas, Senin (6/4).

Diskusi kemarin juga menampilkan pembicara lain, yakni Prof Sri Moertiningsih Adioetomo dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Bappenas Nina Sardjunani, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Muhadjir Darwin, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Ascobat Gani, dan Dubes Khusus PBB untuk MDGs di Asia Pasifik 2003-2007 Erna Witoelar.

Menurut Muhadjir Darwin, kebijakan pengendalian penduduk melalui program KB pada masa Orde Baru sarat dengan cerita sukses meskipun juga tidak bersih dari catatan negatif. Program KB dimulai tahun 1970 sudah terbukti menciptakan transisi demografi. Total fertility rate (TFR) turun dari 5,9 pada tahun 1965-1970 menjadi 2,76 pada tahun 1995-1997.

Saat ini angka TFR telah turun menjadi 2,3 di beberapa daerah, seperti Yogyakarta telah berada di bawah angka dua, yaitu 1,8. Namun, TFR tersebut mengalami stagnasi lima tahun terakhir.

”Namun, program KB tersebut menimbulkan banyak kritik karena cara-cara yang dilakukan Orde Baru ketika itu mengabaikan hak-hak reproduksi perempuan,” kata Muhadjir Darwin.

Dimensi kuantitatif

Ascobat Gani menuturkan, kegagalan program KB bisa menyebabkan ledakan jumlah penduduk. Dampak ikutannya pemerintah harus menyediakan kebutuhan pangan yang besar, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan fasilitas pelayanan lainnya.

Sri Moertiningsih Adioetomo bicara mengenai bonus demografi. Perubahan struktur umur penduduk dan menurunnya beban ketergantungan memberikan peluang yang disebut bonus demografi. Ini dikaitkan dengan munculnya suatu kesempatan, yang dapat dimanfaatkan untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat.

Bonus demografi memberi peluang untuk meningkatkan produktivitas dan memicu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas human capital. ”Pada tahap fertilitas tinggi pertumbuhan pendapatan per kapita terserap untuk memenuhi kebutuhan penduduk muda yang besar jumlahnya,” kata Sri Moertiningsih Adioetomo. (LOK)

Jumat, 03 April 2009

Atasi Infeksi pada Penderita Kanker Usus Besar

JAKARTA, KOMPAS - Radang pada usus ternyata berpengaruh pada perkembangan kanker kolorektal. Karena itu, selain pengobatan standar, penderita perlu mendapat obat-obatan antiperadangan. Demikian disampaikan Murdani Abdullah, staf Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor, Kamis (2/4) di Jakarta. Ia mendapat predikat sangat memuaskan.

Kanker kolorektal atau kanker usus besar merupakan jenis kanker yang bisa disembuhkan dan dicegah perkembangannya. Gejala umum kanker ini antara lain cepat lelah, lesu, dan berat badan menurun. Namun, tidak ada gejala atau tanda spesifik.

Di samping kelainan genetik, kanker kolorektal juga dipengaruhi faktor lingkungan, makanan yang dikonsumsi, dan infeksi dalam tubuh. ”Radang usus berulang dan kronis bisa meningkatkan risiko,” katanya.

Di Indonesia, kasus infeksi atau radang usus banyak dijumpai antara lain nyeri lambung dan diare. Namun, banyak penderita hanya minum obat diare, tetapi tak mengonsumsi obat antiinflamasi.

Menurut hasil riset Murdani, jumlah COX-2, enzim penyebab peradangan, secara bermakna lebih banyak pada jaringan kanker daripada jaringan bebas kanker. ”Karena itu, penderita kanker kolorektal atau polip sebaiknya diperiksa apa ada COX-2 dalam usus,” ujarnya.

Bila ditemukan COX-2 pada jaringan kanker atau polip, pemberian obat antiinflamasi dapat diberikan sebagai prevensi sekunder. Hal ini untuk meningkatkan efektivitas pengobatan kanker dan mencegah kambuh pada pasien.

Namun, obat-obatan antiinflamasi ini tak dianjurkan diberikan kepada penderita kanker usus besar yang punya masalah kesehatan jantung karena efek samping obat, yaitu gangguan irama jantung, di samping gangguan saluran pencernaan atau tukak lambung. (EVY

Waspadai Batuk Berdahak

Kansa Izati, 1 tahun 10 bulan, membenamkan kepala ke dada ibunya yang tengah menunggu obat di apotek di Klinik Perkumpulan Tuberkulosis Indonesia di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Sejak enam bulan terakhir, bocah perempuan bertubuh kurus tersebut secara rutin dibawa orangtuanya berobat ke klinik itu karena menderita penyakit tuberkulosis.

Setelah rutin minum obat, batuk berkurang dan berat badannya juga naik,” kata Asih, ibu Kansa. Bocah mungil itu terserang batuk saat berusia tiga bulan. Berat badannya turun drastis, batuknya tambah parah, kadang disertai sesak napas.

”Saya mengira Kansa batuk biasa, tetapi kok tak sembuh- sembuh, padahal bolak-balik berobat,” ujar ibunya. Belakangan terdeteksi ada flek pada paru-parunya. Kini ia harus minum obat anti-TB beberapa bulan.

Hal serupa dialami Ny Gustini (40), ibu tiga anak. Awalnya ia mengira batuk yang dideritanya hanya gejala flu. Selama berbulan-bulan ia minum obat pereda batuk, tetapi batuk berdahak itu tak kunjung sembuh. Belakangan ia batuk disertai darah. Ia ketahuan menderita TB dengan basil tahan asam (BTA) positif atau menular. Baru diterapi tiga bulan, ia tidak lagi minum obat. ”Saya mengira sudah sembuh,” katanya.

Beberapa tahun kemudian, ia batuk lagi disertai sesak napas. Ternyata TB-nya kambuh. Ada cairan di paru-paru. Karena putus berobat, kini ia harus menjalani terapi suntikan selama 60 hari dan minum obat anti-TB.

Menular

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini ditemukan ilmuwan Jerman, Robert Koch, 24 Maret 1882. Seperti flu, TB menular melalui percikan batuk, bersin, atau ludah penderita. Mayoritas kasus TB terjadi di paru—TB bisa menyerang organ lain seperti selaput otak, tulang, serta kulit.

Gejala TB antara lain batuk berdahak, demam, dahak campur darah, berat badan turun drastis, nyeri dada, sesak napas, berkeringat pada malam hari. ”Gejalanya kayak orang tak tahu kalau kena TB,” kata Kepala Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Priyanti.

Seseorang dicurigai menderita TB jika ada riwayat kontak atau serumah dengan pasien TB dengan BTA positif. Yang berisiko tinggi tertular mereka yang ada di penjara, rumah sakit, dan pengguna narkoba suntik.

Pemeriksaan awal TB adalah tes Mantoux—penyuntikan tuberkulin di bawah kulit terluar. Diagnosis paling tepat adalah pemeriksaan bahan dari penderita yaitu dahak, bilasan lambung, dan biopsi, atau tes BTA positif, dan foto rontgen paru.

Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah penderita TB di dunia setelah India dan China. Secara global, WHO memperkirakan tiap tahun ada 9,2 juta kasus TB baru dan 1,7 juta orang meninggal karena TB.

Kesadaran berobat rendah

Di Indonesia, pasien sering tidak berobat hingga tuntas karena jenuh, efek samping obat seperti mual, merasa lebih baik setelah dua bulan pertama. Penyebab lain yaitu faktor ekonomi dan hambatan transportasi.

”Padahal kuman belum terbasmi seluruhnya,” kata Priyanti. Akibatnya, kuman TB bisa kebal obat-obatan anti-TB lini pertama, terutama rifampisin dan INH. Terjadi multidrug resistant (MDR). Pasien ini hanya bisa diobati dengan obat lini kedua yang jumlahnya terbatas, mahal, efek samping lebih besar.

Di Indonesia, WHO memperkirakan tahun 2006 insiden kasus TB 534.439 orang dan jumlah kematian 88.113 orang. Prevalensi TB turun 42 persen ketimbang tahun 1990. Tahun 2008 temuan kasus TB 285.243 orang. Insiden semua kasus 223 per 100.000 orang, insiden kasus menular 101 per 100.000 orang, prevalensi BTA positif 130 per 100.000 penduduk.

Juga belum semua orang tahu cara penularan, pencegahan, serta pengobatan TB. Orang tak tahu kalau dirinya menderita TB. Padahal, bila tidak berobat, dia bisa menularkan.

Kini dunia dihadapkan pada kuman TB yang kebal terhadap obat secara ekstrem (extensive drug resistant/XDR) akibat pasien TB MDR tidak diobati dengan baik. ”Dalam kasus XDR, kuman kebal terhadap sebagian obat anti-TB lini kedua, yaitu fluorokuinolon dan obat suntik, sehingga tak bisa diobati,” ujar Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Tjandra Yoga Aditama.

Untuk itu, diterapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS) sejak 1995 atas rekomendasi WHO. Namun, baru 30 persen dari 1.268 RS di Indonesia menjalankan DOTS -meliputi pemeriksaan dahak, pasien berobat 6-9 bulan didampingi pengawas menelan obat, yaitu petugas kesehatan dan orang dekat pasien.

Tantangan lain ke depan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang TB, implementasi DOTS, pengobatan pasien TB MDR, ancaman kasus MDR/XDR akan kian nyata. (EVY RACHMAWATI)

Minggu, 15 Maret 2009

Stres Picu Peningkatan Asam Lambung


Bisa Diduga Gangguan Jantung
Sabtu, 14 Maret 2009 | 03:28 WIB

Jakarta, Kompas - Nyeri lambung yang diderita Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebabkan gangguan pencernaan karena tingginya asam lambung. Kondisi ini bisa terjadi karena pola makan tidak teratur, kelelahan, dan stres.

Ketua Tim Dokter Kepresidenan Mardjo Soebiandono, Jumat (13/3) di Jakarta, menjelaskan, kondisi kesehatan Presiden Yudhoyono relatif baik. ”Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan, kondisi beliau relatif baik. Tidak ada masalah dengan jantung,” ujarnya.

Hasil diagnosis menunjukkan nyeri lambung yang diderita Presiden disebabkan peningkatan asam lambung. Gangguan pencernaan ini terjadi karena kelelahan. Meski sudah bisa kembali bekerja, tim dokter akan terus memantau kondisi kesehatan Presiden.

Ari Fahrial Syam, pengajar Divisi Gastroentrologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, menjelaskan, nyeri lambung juga bisa disangka gangguan jantung atau batu empedu.

Hal ini disebabkan penderita merasa nyeri pada daerah ulu hati, sesak, panas di bagian dada, sehingga ada serangkaian pemeriksaan untuk mencari kelainan pada jantung. Apalagi bila penderita punya faktor risiko penyakit jantung, yaitu berusia di atas 40 tahun, pria, kelebihan berat badan, dan perokok.

Gangguan pencernaan karena tingginya asam lambung ditandai rasa nyeri pada daerah ulu hati tiba-tiba. Gejala lain yang timbul adalah perut kembung, sesak, mual, muntah, bahkan bisa sampai pingsan.

Sebenarnya asam berfungsi membantu pencernaan dan membunuh kuman. Namun, produksi asam berlebihan akan merusak dinding lambung dan kerongkongan.

”Peningkatan asam umumnya karena multifaktor. Salah satunya adalah stres, bisa karena banyak pikiran, kurang tidur, atau kelelahan,” ujarnya.

Bila stres, sinyal-sinyal saraf penderita akan merangsang sel- sel yang memproduksi asam lambung. ”Pola makan tak teratur juga bisa menyebabkan gangguan pencernaan karena tingginya asam lambung. Karena lambung yang kosong dibanjiri asam lambung,” kata Ari.

Kopi, rokok, dan makanan berlemak, seperti keju atau cokelat, menyebabkan produksi asam dan gas menjadi berlebihan dalam lambung. Makanan berlemak juga memperlemah klep kerongkongan sehingga asam dan gas naik ke kerongkongan yang mengakibatkan luka.

Dokter spesialis gizi klinik dari Klinik Spesialis Semanggi, Samuel Oetoro, menambahkan, ada beberapa makanan yang bisa merangsang produksi asam lambung, yaitu makanan pedas dan berbau tajam seperti cabe dan lada.

”Makanan yang menyebabkan gas berlebihan dalam lambung di antaranya taoge, kol, nangka, dan pisang ambon,” ujarnya.

Kalau terus berlangsung, hal ini akan mengganggu organ lain, seperti gangguan pita suara, gatal di tenggorokan, radang, dan perubahan dinding kerongkongan. ”Penderita sebaiknya mengendalikan diri agar tidak stres, mengelola diri agar tidak stres. Untuk menghilangkan gejala, bisa mengonsumsi obat golongan antasida,” kata Ari.

Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Prof Fransiska Rungkat Zakaria, menambahkan, tingginya asam lambung bisa dicegah dengan makan secara teratur. Waktu makan atau minum berseling enam jam. Bila beraktivitas tinggi, sebaiknya dipersering menjadi tiga jam sekali.(EVY)

Negara Tanpa Jaminan Sosial

Sulastomo

Cita-cita buat apa negara ini didirikan adalah mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Kesejahteraan yang berkeadilan sosial itu dapat terwujud melalui pengembangan sistem jaminan sosial.

Begitulah amanat UUD 1945. Namun, setelah lebih dari 60 tahun merdeka, program jaminan sosial belum mencapai 20 persen penduduk. Sebagian besar penduduk belum terlindungi program jaminan sosial. Hal ini tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga ekonomi. Sebab, cakupan program jaminan sosial juga mengindikasikan kemampuan ekonomi, selain tingkat kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial.

Lengah

Negara dapat dianggap lengah jika tidak peduli dengan pelaksanaan program jaminan sosial meski pemerintah telah banyak melancarkan program bantuan sosial dari Jamkesmas, bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin (raskin), dan sebagainya.

Hal ini disebabkan kita telah memiliki UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sejak tahun 2004 (UU Nomor 40 Tahun 2004) dengan amanat masa transisi sampai tahun 2009. Sampai menjelang berakhirnya tahun 2009, program jaminan sosial belum berjalan sebagaimana diamanatkan UU No 40/2004. Setidaknya, masih berjalan di tempat.

Sudah tentu hal ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan, khususnya di kalangan Serikat Buruh. Buat apa kita bekerja, kalau masa depan kita tidak terjamin? Tidak memiliki jaminan kesehatan (JK) dan jaminan pensiun (JP)? Apalagi, juga tidak memiliki jaminan pemutusan hubungan kerja (JPHK) meski berhak pesangon ketika PHK?

Pada kenyataannya, pesangon itu sering sulit terwujud disebabkan kemampuan perusahaan yang terbatas sehingga utang pesangon pada tahun 2008 mencapai lebih dari Rp 500 miliar? Demikian juga jaminan kecelakaan kerja bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri sehingga ketika mereka mengorbankan jiwanya saat bertugas, tidak memperoleh jaminan yang semestinya?

Berbagai faktor mungkin menjadi penyebab lambannya pelaksanaan UU No 40/2004.

Pertama, tidak adanya kesamaan persepsi di antara para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah. Persepsi antara ”jaminan sosial” (social security), ”bantuan sosial” (social assistance), dan ”pelayanan sosial” (social services) sering rancu.

Semuanya, sepanjang terkait dengan kesejahteraan sosial, dianggap jaminan sosial. UU No 40/2004 sebenarnya telah memberikan definisi yang jelas mengenai program ”jaminan sosial”. Ciri-cirinya, antara lain, sebuah program berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia, yaitu program jaminan kesehatan (JK), program jaminan kecelakaan kerja (JKK), program jaminan hari tua (JHT), program jaminan pensiun (JP), dan program jaminan kematian (JKM).

Mestinya hal tersebut juga menyangkut program jaminan pemutusan hubungan kerja, yang dalam hal ini termaktub dalam UU No 13/2003 tentang pesangon yang ternyata sering menimbulkan perselisihan disebabkan ketidakmampuan perusahaan menjamin dana pesangon itu.

Kedua, ada persepsi keliru, program jaminan sosial akan membebani anggaran negara. Padahal, justru sebaliknya. Negara akan amat terbantu dengan terselenggaranya program jaminan sosial melalui terbentuknya dana jaminan sosial, yang dapat amat bermakna, sehingga dapat memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi.

UU No 40/2004 bahkan akan meringankan beban anggaran negara melalui pembaruan program jaminan pensiun PNS/anggota TNI/Polri. Kontribusi peserta program jaminan sosial, khususnya program jaminan hari tua dan jaminan pensiun, akan mampu membentuk tabungan nasional yang amat besar sehingga bisa mendukung program pembangunan ekonomi bangsa.

Ketiga, adanya pemikiran yang menganggap penyelenggaraan program jaminan sosial sebagai suatu yang sulit, bahkan tidak layak untuk diwajibkan, sehingga sebaiknya program jaminan sosial diselenggarakan secara sukarela, bahkan diserahkan penyelenggaraannya ke masyarakat sendiri atau dunia usaha.

Keempat, kepentingan bisnis yang menganggap penyelenggaraan program jaminan sosial yang diselenggarakan sesuai dengan UU No 40/2004 merupakan ancaman bagi eksistensi perusahaan asuransi kesehatan dan asuransi jiwa swasta.

Kelima, kepentingan politik, sehingga para politisi lebih tertarik program bantuan sosial jangka pendek, populis, meski tidak akan berkelanjutan, bahkan akan membebani negara dalam jangka panjang. Beberapa pemenang pilkada adalah yang menjanjikan kesehatan gratis atau pendidikan gratis.

Perubahan paradigma

Kenyataan itu mengesankan bahwa sosialisasi UU No 40/2004 masih amat diperlukan, justru di kalangan para decision–makers, para elite politik, dan dunia usaha, bahwa tanpa penyelenggaraan program jaminan sosial akan sulit mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial.

Dampaknya, bisa mengganggu kelangsungan pembangunan ekonomi dan kehidupan dunia usaha. Dapatkah dibayangkan, jika pada tahun 2015 mendatang (misalnya) puluhan juta lansia tidak memiliki jaminan kesehatan dan jaminan pensiun? Dapatkah dibayangkan, jika pada tahun itu negara juga tidak akan mampu (lagi) memikul beban berat bagi penyelenggaraan program jaminan kesehatan dan jaminan pensiun para pensiunan PNS dan anggota TNI/Polri? Tidakkah semua itu bisa memicu ledakan sosial yang dahsyat? Dapatkah dibayangkan, jika Indonesia akan memperoleh predikat negara tanpa sistem jaminan sosial?

Perubahan paradigma tersebut diperlukan untuk dapat melakukan reformasi dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Antara lain, dengan mewujudkan program jaminan sosial bagi seluruh rakyat meski secara bertahap. Peta jalan untuk itu telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No 40/2004.

Sulastomo Mantan Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional

Rumah (yang) Sakit

Radhar Panca Dahana

Banyak orang bilang, salah satu bisnis yang kini pasti menguntungkan adalah mendirikan rumah sakit. Pernyataan ini menggelikan, namun bila benar, menggiriskan.

Keuntungan dalam bisnis itu seperti memerah kebahagiaan dari derita/tangis orang lain: menampung uang dari darah atau nanah luka yang terbuka.

Namun, begitulah kenyataannya. Sakit dan penyakit tak ada musimnya, tak ada grafik menurunnya di negeri penuh gejolak ini. Bahkan di saat krisis—politik dan ekonomi—orang sakit tidak berkurang; justru meningkat, baik yang fisis, terlebih psikis. Dan itu membuat pebisnis kesehatan kian bergairah. Kita mafhum, banyak berita mengabarkan, dalam situasi seperti itu, para pebisnis kesehatan masih ”memainkan” bahkan ”menciptakan” varian penyakit baru demi jenis obat baru.

Kita pun sama paham, bagaimana bisnis rumah sakit kini memiliki performa, iming-iming, atau gimmick yang tidak kalah keren ketimbang wisata pantai, restoran mewah, atau karaoke keluarga kelas premium. Rasa sakit, penderitaan, dijadikan motif untuk menguras lebih dalam kantong penderita, dengan tawaran-tawaran leisure yang kadang menggelikan.

Lebih menggelikan para pelaku bisnis di negeri kita. Alih-alih meningkatkan pelayanan medisnya kepada publik, mereka mereaksi tren melimpahnya pasien lokal yang berobat ke luar negeri, dengan mendirikan rumah-rumah sakit mewah berkelas internasional. Bisnis itu ”dipindahkan” dari luar ke dalam. Esensi pelayanan termanipulasi fasilitas dan harga, dan diskriminasi pasien justru kian ditegakkan: ”Hei orang miskin dan sakit, bukan bagianmu mendapat pelayanan baik ini”.

”Fait accompli” pasien

Kita, sekali lagi mengerti, siapa paling diuntungkan dari kecenderungan ini. Dari semua aparat medis yang ada, tentu para birokrat kesehatan, terutama para dokter, yang mengais keuntungan terbesar. Bukan hanya dari tarif, harga obat, dan fasilitas yang disediakan. Sebagai sarjana dengan lima tahun waktu studi, para dokter mendapat imbalan luar biasa, berlipat-lipat dibanding kaum paramedis, misalnya, yang juga sekolah tiga hingga lima tahun.

Mungkin dalam tanggung jawab, dokter adalah pemeran utama. Namun, dalam praktik medis di rumah sakit, kaum paramedis inilah yang sebenarnya menggerakkan atau mengoperasikan mesin kesehatan. Berjaga menit ke menit, mengantisipasi situasi paling kritis di detik awal, mengayomi pasien, termasuk diserapahi keluarganya. Namun, untuk kesejahteraan, mungkin tiap bulan ia mendapat gaji yang didapat dokter hanya dalam sehari.

Pasien? Ia adalah obyek dari semua fait accompli. Ilustrasi kecil, saya meminta resep bisul kepada seorang dokter spesialis. Setelah saya cek harganya hampir Rp 300.000. Saya kembali dan bertanya, mengapa semahal itu? Dokter menukas, ”Bapak tidak percaya saya?” Saya ragu. Saya bertanya kepada dokter lain, yang memberi resep salep. Harganya: Rp 1.600. Dengan itu, dua hari kemudian bisul saya lenyap.

Berapa banyak pasien yang ragu seperti saya. Berapa nilai uang hasil diagnosis atau resep fait accompli itu. Ilustrasi ini lebih seru: satu kali saya operasi mengangkat tumor di pundak. Saya diperbolehkan pulang sesegera usai operasi, betapapun saya minta diinapkan. Belum setengah perjalanan pulang, luka operasi terbuka dan darah mengalir. Saya kembali. Dan dilakukan operasi ulang. Ternyata, luka tetap terbuka dan darah tiada henti mengalir.

Saya diinapkan. Dan diberi pilihan untuk operasi ketiga dengan kondisi: bius total. Sebuah kondisi yang bagi saya—pemilik penyakit akut lainnya—hanya memiliki dua opsi (menurut dokter bedah yang menjadi kepala tim): hilang sadar total (maut) atau masuk ruang ICCU. Saya terpana: karena kesalahan operasi saya mesti berada pada sebuah dilema yang komikal: maut dan hampir maut.

”Di mana tanggung jawab Anda, dokter? Kondisi ini bukan saya yang membuatnya, tapi Anda. Saya harus menerima tanpa kecuali. Saya tanggung semua risiko. Termasuk, mati atau tidak, saya harus tetap bayar Anda,” saya protes. Mereka tak bisa menjawab, hanya bertukas pendek, ”Semua terserah pada keputusan, Bapak.”

Saya terdiam. Mereka pergi. Beberapa dokter lain saya hubungi, tak ada advis yang melegakan. Semua bimbang. Nalar saya bergeser menjadi mistis: menyerahkan nasib pada yang memestikannya. Dan Dia menjawab. Operasi ketiga berlangsung 1,5 jam, terasa 1,5 detik buat saya. Saya langsung bangkit duduk dan berjalan, begitu usai dan sadar. Keadaan yang konon tak bisa terjadi, biarpun efek bius hilang (seharusnya) beberapa jam kemudian.

Orang miskin

Terlampau banyak kasus semacam bisa ditulis. Di mana posisi pasien, dirugikan seberat apa pun—hingga nyawa—tak ada pilihan. Dalam diagnosis, dalam peraturan tiap rumah sakit yang berubah-ubah, dalam resep, dalam biaya, dan lainnya. Beruntung bila satu-dua pasien cukup kritis, ia bisa menemukan hak-haknya yang umumnya kabur. Bagi masyarakat awam, hanya pasrah menerima fait accompli.

Inilah yang juga terjadi pada mereka yang sepatutnya mendapat asuransi atau jaminan kesehatan dari negara. Mereka harus dinyatakan benar-benar miskin untuk mendapat jaminan itu. Dan kebijakan baru menetapkan kemiskinan itu harus diumumkan di tiap kelurahan. Masalahnya bukan harga diri yang diobral oleh kebijakan negara, tetapi kategori ”miskin” sebagai kriteria dasar.

Orang miskin tentu membutuhkan kesehatan. Namun, tidak semua orang miskin. Beberapa orang miskin memilih harga diri ketimbang jaminan itu. Beberapa orang miskin tidak membutuhkan karena tidak percaya atau kecewa pada pelayanan medis yang ada. Ada pula orang ”tidak miskin” tetapi amat membutuhkan jaminan itu, demi pelaksanaan tanggung jawab keluarga, sosial; demi aktualisasi dan produktivitasnya.

Inilah golongan yang tidak dijamin siapa pun. Tidak oleh askes pegawai negeri, tidak oleh askes perusahaan, juga tidak askes perusahaan asuransi. Mereka adalah pekerja profesional dan bebas yang tidak terikat apa pun. Seperti pekerja kreatif, atau seniman. Dibilang kaya tidak, miskin bukan. Seorang penyair asal Medan memilih mati ketimbang harus menjalani cuci darah yang tak tertanggung olehnya.

Kasus seperti itu menjadi obligasi sosial kita, dan negara sebagai penanggung jawab utama. (Jaminan) Kesehatan harus diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan, terlebih karena itu menjadi jaminan produktivitas serta kontribusinya kepada masyarakat. Dana jaminan dari rakyat harus dikembalikan sesuai situasi dan proporsi. Kasus mesti diperhatikan.

Bahkan setiap kebutuhan, setiap pasien harus diperlakukan sebagai unikum, sebagai kasus. Karena setiap penyakit pada akhirnya menyangkut sang korban, yang notabene seorang manusia, yang pada dasarnya unik, tersendiri. Negara mestinya paham, bahaya bila manusia ditempatkan hanya sebagai konstanta. Apalagi dipasrahkan pada logika bisnis rumah sakit di atas. Bisa-bisa negeri inilah rumah (yang) sakit itu.

Radhar Panca Dahana Sastrawan; Tinggal di Tangerang

Selasa, 03 Maret 2009

Nyeri Pinggang, Pinggul, dan Lutut pada Usia Lanjut



Selasa, 3 Maret 2009 | 06:09 WIB

Nyeri pinggang, pinggul, dan lutut sering dialami orang-orang lanjut usia. Nyeri adalah sensasi personal yang tidak menyenangkan.

Pinggang, lutut (dengkul), dan pinggul yang paling sering dikeluhkan karena merupakan sendi gerak yang menerima beban berat badan sehingga orang gemuk lebih mudah mengalami gangguan ini daripada orang kurus.

”Pasien baru datang ke dokter ortopedi setelah keadaan menjadi parah, biasanya setelah mereka pergi ke sinse, dukun urut, ahli patah tulang, atau dokter nonortopedi, baru kemudian mereka datang ke dokter ortopedi,” kata dr Franky Hartono SpOT dari Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta, akhir pekan lalu.

Sekitar 80 persen populasi dunia pernah mengalami pinggang kecethit. Pinggang kecethit ini sering kali jadi penyebab utama orang tidak bekerja.

Di Inggris dengan populasi 49 juta jiwa, 66.000 orang dirawat di RS setiap tahunnya. Dengan kata lain ada sekitar 5.500 orang dirawat di RS setiap bulan karena pinggang kecethit.

Pinggang kecethit bisa terkena pada orang-orang yang berusia 45-65 tahun, pada mereka yang tingkat pendidikannya rendah, pekerja berat (bertani/buruh bangunan), dan mereka yang pernah mengalami cedera berat.

”Mengangkat beban berat dengan posisi pinggang yang salah bisa menyebabkan pinggang kecethit. Apa yang kita lakukan pada masa muda akan berakibat pada masa tua,” Franky mengingatkan.

Sementara itu, lutut atau dengkul kopong biasanya identik dengan rematik, keropos, pengapuran, nyeri, kaku, berat, tak enak sehingga timbul rasa tidak kuat jalan, cepat capai, tidak bisa jongkok, dan mudah jatuh.

”Ini menyebabkan rasa sakit, keterbatasan gerak, dan ketergantungan kepada orang lain yang nantinya bisa berujung pada timbulnya depresi,” kata Franky.

Ny Nesy, seorang ibu yang berusia 75 tahun, mengalami nyeri di lutut dan takut menjalani operasi. Menurut Franky, berat badan Ny Nesy harus dikurangi supaya tidak timbul rasa nyeri di lutut. ”Dia harus mengurangi berat badan dan latihan otot,” kata Franky. Linda juga mengalami nyeri di lutut hingga bengkak. ”Kayaknya dengkul saya enggak beres dan sering kali nyeri datang dengan tiba-tiba,” katanya.

Agak sulit bagi dokter untuk mengetahui apa penyebabnya karena harus dilakukan pemeriksaan darah dan rontgen. Penyebab utama dengkul atau lutut nyeri atau kopong biasanya osteoarthritis, rheumatoid arthritis, dan cedera.

”Lutut berbunyi kretek-kretek karena celah tulang di lutut makin sempit. Bisa jadi dengkul kopong karena tulang rawannya habis. Jika di MRI (magnetic resonance imaging), kita bisa mengetahui masalahnya apa. Namun, biayanya tentu besar,” kata Franky.

Jika sudah tidak ada jalan untuk penyembuhan, Franky menyarankan dilakukan operasi total knee replacement karena kalau tulang rawan robek tidak akan bisa sembuh dengan sendirinya.

Arthroplasty bisa dilakukan, yaitu mengganti lapisan dengkul yang aus dan bengkok dengan sendi buatan sehingga menjadi lurus kembali. Tentu saja biayanya juga besar,” ujar Franky. Oleh karena itu, jauh lebih baik kita menjaga lutut kita dengan membiasakan diri bersikap tubuh benar. (LOK)