Minggu, 15 Maret 2009

Stres Picu Peningkatan Asam Lambung


Bisa Diduga Gangguan Jantung
Sabtu, 14 Maret 2009 | 03:28 WIB

Jakarta, Kompas - Nyeri lambung yang diderita Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebabkan gangguan pencernaan karena tingginya asam lambung. Kondisi ini bisa terjadi karena pola makan tidak teratur, kelelahan, dan stres.

Ketua Tim Dokter Kepresidenan Mardjo Soebiandono, Jumat (13/3) di Jakarta, menjelaskan, kondisi kesehatan Presiden Yudhoyono relatif baik. ”Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan, kondisi beliau relatif baik. Tidak ada masalah dengan jantung,” ujarnya.

Hasil diagnosis menunjukkan nyeri lambung yang diderita Presiden disebabkan peningkatan asam lambung. Gangguan pencernaan ini terjadi karena kelelahan. Meski sudah bisa kembali bekerja, tim dokter akan terus memantau kondisi kesehatan Presiden.

Ari Fahrial Syam, pengajar Divisi Gastroentrologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, menjelaskan, nyeri lambung juga bisa disangka gangguan jantung atau batu empedu.

Hal ini disebabkan penderita merasa nyeri pada daerah ulu hati, sesak, panas di bagian dada, sehingga ada serangkaian pemeriksaan untuk mencari kelainan pada jantung. Apalagi bila penderita punya faktor risiko penyakit jantung, yaitu berusia di atas 40 tahun, pria, kelebihan berat badan, dan perokok.

Gangguan pencernaan karena tingginya asam lambung ditandai rasa nyeri pada daerah ulu hati tiba-tiba. Gejala lain yang timbul adalah perut kembung, sesak, mual, muntah, bahkan bisa sampai pingsan.

Sebenarnya asam berfungsi membantu pencernaan dan membunuh kuman. Namun, produksi asam berlebihan akan merusak dinding lambung dan kerongkongan.

”Peningkatan asam umumnya karena multifaktor. Salah satunya adalah stres, bisa karena banyak pikiran, kurang tidur, atau kelelahan,” ujarnya.

Bila stres, sinyal-sinyal saraf penderita akan merangsang sel- sel yang memproduksi asam lambung. ”Pola makan tak teratur juga bisa menyebabkan gangguan pencernaan karena tingginya asam lambung. Karena lambung yang kosong dibanjiri asam lambung,” kata Ari.

Kopi, rokok, dan makanan berlemak, seperti keju atau cokelat, menyebabkan produksi asam dan gas menjadi berlebihan dalam lambung. Makanan berlemak juga memperlemah klep kerongkongan sehingga asam dan gas naik ke kerongkongan yang mengakibatkan luka.

Dokter spesialis gizi klinik dari Klinik Spesialis Semanggi, Samuel Oetoro, menambahkan, ada beberapa makanan yang bisa merangsang produksi asam lambung, yaitu makanan pedas dan berbau tajam seperti cabe dan lada.

”Makanan yang menyebabkan gas berlebihan dalam lambung di antaranya taoge, kol, nangka, dan pisang ambon,” ujarnya.

Kalau terus berlangsung, hal ini akan mengganggu organ lain, seperti gangguan pita suara, gatal di tenggorokan, radang, dan perubahan dinding kerongkongan. ”Penderita sebaiknya mengendalikan diri agar tidak stres, mengelola diri agar tidak stres. Untuk menghilangkan gejala, bisa mengonsumsi obat golongan antasida,” kata Ari.

Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Prof Fransiska Rungkat Zakaria, menambahkan, tingginya asam lambung bisa dicegah dengan makan secara teratur. Waktu makan atau minum berseling enam jam. Bila beraktivitas tinggi, sebaiknya dipersering menjadi tiga jam sekali.(EVY)

Negara Tanpa Jaminan Sosial

Sulastomo

Cita-cita buat apa negara ini didirikan adalah mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Kesejahteraan yang berkeadilan sosial itu dapat terwujud melalui pengembangan sistem jaminan sosial.

Begitulah amanat UUD 1945. Namun, setelah lebih dari 60 tahun merdeka, program jaminan sosial belum mencapai 20 persen penduduk. Sebagian besar penduduk belum terlindungi program jaminan sosial. Hal ini tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga ekonomi. Sebab, cakupan program jaminan sosial juga mengindikasikan kemampuan ekonomi, selain tingkat kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial.

Lengah

Negara dapat dianggap lengah jika tidak peduli dengan pelaksanaan program jaminan sosial meski pemerintah telah banyak melancarkan program bantuan sosial dari Jamkesmas, bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin (raskin), dan sebagainya.

Hal ini disebabkan kita telah memiliki UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sejak tahun 2004 (UU Nomor 40 Tahun 2004) dengan amanat masa transisi sampai tahun 2009. Sampai menjelang berakhirnya tahun 2009, program jaminan sosial belum berjalan sebagaimana diamanatkan UU No 40/2004. Setidaknya, masih berjalan di tempat.

Sudah tentu hal ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan, khususnya di kalangan Serikat Buruh. Buat apa kita bekerja, kalau masa depan kita tidak terjamin? Tidak memiliki jaminan kesehatan (JK) dan jaminan pensiun (JP)? Apalagi, juga tidak memiliki jaminan pemutusan hubungan kerja (JPHK) meski berhak pesangon ketika PHK?

Pada kenyataannya, pesangon itu sering sulit terwujud disebabkan kemampuan perusahaan yang terbatas sehingga utang pesangon pada tahun 2008 mencapai lebih dari Rp 500 miliar? Demikian juga jaminan kecelakaan kerja bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri sehingga ketika mereka mengorbankan jiwanya saat bertugas, tidak memperoleh jaminan yang semestinya?

Berbagai faktor mungkin menjadi penyebab lambannya pelaksanaan UU No 40/2004.

Pertama, tidak adanya kesamaan persepsi di antara para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah. Persepsi antara ”jaminan sosial” (social security), ”bantuan sosial” (social assistance), dan ”pelayanan sosial” (social services) sering rancu.

Semuanya, sepanjang terkait dengan kesejahteraan sosial, dianggap jaminan sosial. UU No 40/2004 sebenarnya telah memberikan definisi yang jelas mengenai program ”jaminan sosial”. Ciri-cirinya, antara lain, sebuah program berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia, yaitu program jaminan kesehatan (JK), program jaminan kecelakaan kerja (JKK), program jaminan hari tua (JHT), program jaminan pensiun (JP), dan program jaminan kematian (JKM).

Mestinya hal tersebut juga menyangkut program jaminan pemutusan hubungan kerja, yang dalam hal ini termaktub dalam UU No 13/2003 tentang pesangon yang ternyata sering menimbulkan perselisihan disebabkan ketidakmampuan perusahaan menjamin dana pesangon itu.

Kedua, ada persepsi keliru, program jaminan sosial akan membebani anggaran negara. Padahal, justru sebaliknya. Negara akan amat terbantu dengan terselenggaranya program jaminan sosial melalui terbentuknya dana jaminan sosial, yang dapat amat bermakna, sehingga dapat memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi.

UU No 40/2004 bahkan akan meringankan beban anggaran negara melalui pembaruan program jaminan pensiun PNS/anggota TNI/Polri. Kontribusi peserta program jaminan sosial, khususnya program jaminan hari tua dan jaminan pensiun, akan mampu membentuk tabungan nasional yang amat besar sehingga bisa mendukung program pembangunan ekonomi bangsa.

Ketiga, adanya pemikiran yang menganggap penyelenggaraan program jaminan sosial sebagai suatu yang sulit, bahkan tidak layak untuk diwajibkan, sehingga sebaiknya program jaminan sosial diselenggarakan secara sukarela, bahkan diserahkan penyelenggaraannya ke masyarakat sendiri atau dunia usaha.

Keempat, kepentingan bisnis yang menganggap penyelenggaraan program jaminan sosial yang diselenggarakan sesuai dengan UU No 40/2004 merupakan ancaman bagi eksistensi perusahaan asuransi kesehatan dan asuransi jiwa swasta.

Kelima, kepentingan politik, sehingga para politisi lebih tertarik program bantuan sosial jangka pendek, populis, meski tidak akan berkelanjutan, bahkan akan membebani negara dalam jangka panjang. Beberapa pemenang pilkada adalah yang menjanjikan kesehatan gratis atau pendidikan gratis.

Perubahan paradigma

Kenyataan itu mengesankan bahwa sosialisasi UU No 40/2004 masih amat diperlukan, justru di kalangan para decision–makers, para elite politik, dan dunia usaha, bahwa tanpa penyelenggaraan program jaminan sosial akan sulit mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial.

Dampaknya, bisa mengganggu kelangsungan pembangunan ekonomi dan kehidupan dunia usaha. Dapatkah dibayangkan, jika pada tahun 2015 mendatang (misalnya) puluhan juta lansia tidak memiliki jaminan kesehatan dan jaminan pensiun? Dapatkah dibayangkan, jika pada tahun itu negara juga tidak akan mampu (lagi) memikul beban berat bagi penyelenggaraan program jaminan kesehatan dan jaminan pensiun para pensiunan PNS dan anggota TNI/Polri? Tidakkah semua itu bisa memicu ledakan sosial yang dahsyat? Dapatkah dibayangkan, jika Indonesia akan memperoleh predikat negara tanpa sistem jaminan sosial?

Perubahan paradigma tersebut diperlukan untuk dapat melakukan reformasi dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Antara lain, dengan mewujudkan program jaminan sosial bagi seluruh rakyat meski secara bertahap. Peta jalan untuk itu telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No 40/2004.

Sulastomo Mantan Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional

Rumah (yang) Sakit

Radhar Panca Dahana

Banyak orang bilang, salah satu bisnis yang kini pasti menguntungkan adalah mendirikan rumah sakit. Pernyataan ini menggelikan, namun bila benar, menggiriskan.

Keuntungan dalam bisnis itu seperti memerah kebahagiaan dari derita/tangis orang lain: menampung uang dari darah atau nanah luka yang terbuka.

Namun, begitulah kenyataannya. Sakit dan penyakit tak ada musimnya, tak ada grafik menurunnya di negeri penuh gejolak ini. Bahkan di saat krisis—politik dan ekonomi—orang sakit tidak berkurang; justru meningkat, baik yang fisis, terlebih psikis. Dan itu membuat pebisnis kesehatan kian bergairah. Kita mafhum, banyak berita mengabarkan, dalam situasi seperti itu, para pebisnis kesehatan masih ”memainkan” bahkan ”menciptakan” varian penyakit baru demi jenis obat baru.

Kita pun sama paham, bagaimana bisnis rumah sakit kini memiliki performa, iming-iming, atau gimmick yang tidak kalah keren ketimbang wisata pantai, restoran mewah, atau karaoke keluarga kelas premium. Rasa sakit, penderitaan, dijadikan motif untuk menguras lebih dalam kantong penderita, dengan tawaran-tawaran leisure yang kadang menggelikan.

Lebih menggelikan para pelaku bisnis di negeri kita. Alih-alih meningkatkan pelayanan medisnya kepada publik, mereka mereaksi tren melimpahnya pasien lokal yang berobat ke luar negeri, dengan mendirikan rumah-rumah sakit mewah berkelas internasional. Bisnis itu ”dipindahkan” dari luar ke dalam. Esensi pelayanan termanipulasi fasilitas dan harga, dan diskriminasi pasien justru kian ditegakkan: ”Hei orang miskin dan sakit, bukan bagianmu mendapat pelayanan baik ini”.

”Fait accompli” pasien

Kita, sekali lagi mengerti, siapa paling diuntungkan dari kecenderungan ini. Dari semua aparat medis yang ada, tentu para birokrat kesehatan, terutama para dokter, yang mengais keuntungan terbesar. Bukan hanya dari tarif, harga obat, dan fasilitas yang disediakan. Sebagai sarjana dengan lima tahun waktu studi, para dokter mendapat imbalan luar biasa, berlipat-lipat dibanding kaum paramedis, misalnya, yang juga sekolah tiga hingga lima tahun.

Mungkin dalam tanggung jawab, dokter adalah pemeran utama. Namun, dalam praktik medis di rumah sakit, kaum paramedis inilah yang sebenarnya menggerakkan atau mengoperasikan mesin kesehatan. Berjaga menit ke menit, mengantisipasi situasi paling kritis di detik awal, mengayomi pasien, termasuk diserapahi keluarganya. Namun, untuk kesejahteraan, mungkin tiap bulan ia mendapat gaji yang didapat dokter hanya dalam sehari.

Pasien? Ia adalah obyek dari semua fait accompli. Ilustrasi kecil, saya meminta resep bisul kepada seorang dokter spesialis. Setelah saya cek harganya hampir Rp 300.000. Saya kembali dan bertanya, mengapa semahal itu? Dokter menukas, ”Bapak tidak percaya saya?” Saya ragu. Saya bertanya kepada dokter lain, yang memberi resep salep. Harganya: Rp 1.600. Dengan itu, dua hari kemudian bisul saya lenyap.

Berapa banyak pasien yang ragu seperti saya. Berapa nilai uang hasil diagnosis atau resep fait accompli itu. Ilustrasi ini lebih seru: satu kali saya operasi mengangkat tumor di pundak. Saya diperbolehkan pulang sesegera usai operasi, betapapun saya minta diinapkan. Belum setengah perjalanan pulang, luka operasi terbuka dan darah mengalir. Saya kembali. Dan dilakukan operasi ulang. Ternyata, luka tetap terbuka dan darah tiada henti mengalir.

Saya diinapkan. Dan diberi pilihan untuk operasi ketiga dengan kondisi: bius total. Sebuah kondisi yang bagi saya—pemilik penyakit akut lainnya—hanya memiliki dua opsi (menurut dokter bedah yang menjadi kepala tim): hilang sadar total (maut) atau masuk ruang ICCU. Saya terpana: karena kesalahan operasi saya mesti berada pada sebuah dilema yang komikal: maut dan hampir maut.

”Di mana tanggung jawab Anda, dokter? Kondisi ini bukan saya yang membuatnya, tapi Anda. Saya harus menerima tanpa kecuali. Saya tanggung semua risiko. Termasuk, mati atau tidak, saya harus tetap bayar Anda,” saya protes. Mereka tak bisa menjawab, hanya bertukas pendek, ”Semua terserah pada keputusan, Bapak.”

Saya terdiam. Mereka pergi. Beberapa dokter lain saya hubungi, tak ada advis yang melegakan. Semua bimbang. Nalar saya bergeser menjadi mistis: menyerahkan nasib pada yang memestikannya. Dan Dia menjawab. Operasi ketiga berlangsung 1,5 jam, terasa 1,5 detik buat saya. Saya langsung bangkit duduk dan berjalan, begitu usai dan sadar. Keadaan yang konon tak bisa terjadi, biarpun efek bius hilang (seharusnya) beberapa jam kemudian.

Orang miskin

Terlampau banyak kasus semacam bisa ditulis. Di mana posisi pasien, dirugikan seberat apa pun—hingga nyawa—tak ada pilihan. Dalam diagnosis, dalam peraturan tiap rumah sakit yang berubah-ubah, dalam resep, dalam biaya, dan lainnya. Beruntung bila satu-dua pasien cukup kritis, ia bisa menemukan hak-haknya yang umumnya kabur. Bagi masyarakat awam, hanya pasrah menerima fait accompli.

Inilah yang juga terjadi pada mereka yang sepatutnya mendapat asuransi atau jaminan kesehatan dari negara. Mereka harus dinyatakan benar-benar miskin untuk mendapat jaminan itu. Dan kebijakan baru menetapkan kemiskinan itu harus diumumkan di tiap kelurahan. Masalahnya bukan harga diri yang diobral oleh kebijakan negara, tetapi kategori ”miskin” sebagai kriteria dasar.

Orang miskin tentu membutuhkan kesehatan. Namun, tidak semua orang miskin. Beberapa orang miskin memilih harga diri ketimbang jaminan itu. Beberapa orang miskin tidak membutuhkan karena tidak percaya atau kecewa pada pelayanan medis yang ada. Ada pula orang ”tidak miskin” tetapi amat membutuhkan jaminan itu, demi pelaksanaan tanggung jawab keluarga, sosial; demi aktualisasi dan produktivitasnya.

Inilah golongan yang tidak dijamin siapa pun. Tidak oleh askes pegawai negeri, tidak oleh askes perusahaan, juga tidak askes perusahaan asuransi. Mereka adalah pekerja profesional dan bebas yang tidak terikat apa pun. Seperti pekerja kreatif, atau seniman. Dibilang kaya tidak, miskin bukan. Seorang penyair asal Medan memilih mati ketimbang harus menjalani cuci darah yang tak tertanggung olehnya.

Kasus seperti itu menjadi obligasi sosial kita, dan negara sebagai penanggung jawab utama. (Jaminan) Kesehatan harus diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan, terlebih karena itu menjadi jaminan produktivitas serta kontribusinya kepada masyarakat. Dana jaminan dari rakyat harus dikembalikan sesuai situasi dan proporsi. Kasus mesti diperhatikan.

Bahkan setiap kebutuhan, setiap pasien harus diperlakukan sebagai unikum, sebagai kasus. Karena setiap penyakit pada akhirnya menyangkut sang korban, yang notabene seorang manusia, yang pada dasarnya unik, tersendiri. Negara mestinya paham, bahaya bila manusia ditempatkan hanya sebagai konstanta. Apalagi dipasrahkan pada logika bisnis rumah sakit di atas. Bisa-bisa negeri inilah rumah (yang) sakit itu.

Radhar Panca Dahana Sastrawan; Tinggal di Tangerang

Selasa, 03 Maret 2009

Nyeri Pinggang, Pinggul, dan Lutut pada Usia Lanjut



Selasa, 3 Maret 2009 | 06:09 WIB

Nyeri pinggang, pinggul, dan lutut sering dialami orang-orang lanjut usia. Nyeri adalah sensasi personal yang tidak menyenangkan.

Pinggang, lutut (dengkul), dan pinggul yang paling sering dikeluhkan karena merupakan sendi gerak yang menerima beban berat badan sehingga orang gemuk lebih mudah mengalami gangguan ini daripada orang kurus.

”Pasien baru datang ke dokter ortopedi setelah keadaan menjadi parah, biasanya setelah mereka pergi ke sinse, dukun urut, ahli patah tulang, atau dokter nonortopedi, baru kemudian mereka datang ke dokter ortopedi,” kata dr Franky Hartono SpOT dari Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta, akhir pekan lalu.

Sekitar 80 persen populasi dunia pernah mengalami pinggang kecethit. Pinggang kecethit ini sering kali jadi penyebab utama orang tidak bekerja.

Di Inggris dengan populasi 49 juta jiwa, 66.000 orang dirawat di RS setiap tahunnya. Dengan kata lain ada sekitar 5.500 orang dirawat di RS setiap bulan karena pinggang kecethit.

Pinggang kecethit bisa terkena pada orang-orang yang berusia 45-65 tahun, pada mereka yang tingkat pendidikannya rendah, pekerja berat (bertani/buruh bangunan), dan mereka yang pernah mengalami cedera berat.

”Mengangkat beban berat dengan posisi pinggang yang salah bisa menyebabkan pinggang kecethit. Apa yang kita lakukan pada masa muda akan berakibat pada masa tua,” Franky mengingatkan.

Sementara itu, lutut atau dengkul kopong biasanya identik dengan rematik, keropos, pengapuran, nyeri, kaku, berat, tak enak sehingga timbul rasa tidak kuat jalan, cepat capai, tidak bisa jongkok, dan mudah jatuh.

”Ini menyebabkan rasa sakit, keterbatasan gerak, dan ketergantungan kepada orang lain yang nantinya bisa berujung pada timbulnya depresi,” kata Franky.

Ny Nesy, seorang ibu yang berusia 75 tahun, mengalami nyeri di lutut dan takut menjalani operasi. Menurut Franky, berat badan Ny Nesy harus dikurangi supaya tidak timbul rasa nyeri di lutut. ”Dia harus mengurangi berat badan dan latihan otot,” kata Franky. Linda juga mengalami nyeri di lutut hingga bengkak. ”Kayaknya dengkul saya enggak beres dan sering kali nyeri datang dengan tiba-tiba,” katanya.

Agak sulit bagi dokter untuk mengetahui apa penyebabnya karena harus dilakukan pemeriksaan darah dan rontgen. Penyebab utama dengkul atau lutut nyeri atau kopong biasanya osteoarthritis, rheumatoid arthritis, dan cedera.

”Lutut berbunyi kretek-kretek karena celah tulang di lutut makin sempit. Bisa jadi dengkul kopong karena tulang rawannya habis. Jika di MRI (magnetic resonance imaging), kita bisa mengetahui masalahnya apa. Namun, biayanya tentu besar,” kata Franky.

Jika sudah tidak ada jalan untuk penyembuhan, Franky menyarankan dilakukan operasi total knee replacement karena kalau tulang rawan robek tidak akan bisa sembuh dengan sendirinya.

Arthroplasty bisa dilakukan, yaitu mengganti lapisan dengkul yang aus dan bengkok dengan sendi buatan sehingga menjadi lurus kembali. Tentu saja biayanya juga besar,” ujar Franky. Oleh karena itu, jauh lebih baik kita menjaga lutut kita dengan membiasakan diri bersikap tubuh benar. (LOK)