Minggu, 14 Juni 2009

Inses, Apa Itu?

Sawitri Supardi Sadarjoen psikolog

Inses adalah hubungan seks di antara dua lawan jenis yang memiliki hubungan darah/keluarga sangat dekat, seperti kakek dengan cucunya atau ayah dengan anak kandung perempuan atau di antara kakak-beradik sekandung.

Memang pada beberapa abad lalu di Mesir dibenarkan hubungan inses antara raja dan adik perempuannya, tetapi umumnya di berbagai budaya relasi seksual inses amat terlarang dan ditabukan.

Berbagai variasi inses masih sering mewarnai fantasi remaja, misalnya, membayangkan hubungan seks dengan ibu, ayah, atau saudara perempuan, tetapi hal tersebut hanya dibenarkan dalam fantasi seksual erotis yang dipicu perkembangan dorongan erotis dan seksual masa remaja. Dalam dunia nyata, inses tidak boleh dan sangat dilarang.

Bila kita telusuri, larangan inses sebenarnya sangat terkait dengan atribusi biologis yang menyatakan hubungan seksual antara pasangan sedarah akan membahayakan kondisi keturunan. Penelitian modern membuktikan, kematian, retardasi mental, dan cacat bawaan pada anak yang dilahirkan sebagai hasil hubungan inses sangat tinggi.

Bentuk umum yang sering terjadi adalah hubungan inses antara kakak laki-laki dan adik perempuan yang antara lain dipicu rendahnya kualitas tatanan moral dalam keluarga atau eksperimen seksual yang karena kebutuhan pemenuhan rasa ingin tahu tentang seks dan seksualitas di antara saudara sekandung berlawanan jenis, dalam kisaran usia remaja mula.

Kondisi sosial ekonomi yang rendah pun membuat keluarga mengalami keterbatasan kamar tidur sehingga memaksa mereka harus berbagi kamar dengan saudara sekandung berlawanan jenis. Kondisi tersebut akan membuka peluang terjadinya hubungan inses.

Hal yang sangat memprihatinkan adalah bila terjadi pengalaman inses, konsekuensi traumatis justru akan lebih dialami remaja perempuan yang terlibat yang di kemudian hari berkembang menjadi rasa salah berkepanjangan pada diri mereka.

Mereka kemungkinan besar akan memiliki sikap negatif terhadap seksualitas yang pasti merugikan kesejahteraan mental mereka di kemudian hari. Andaikan akhirnya mereka bisa toleran terhadap perasaan bersalah, tetapi cepat atau lambat mereka akan mengetahui perilaku inses sangat dilarang oleh lingkungan masyarakat mereka. Pemahaman tersebut tentu saja akan memicu perkembangan perasaan rendah diri berkepanjangan pula. Apalagi bila kemudian mereka menyadari selaput daranya sudah tidak utuh oleh hubungan inses tersebut.

Kasus

Suami-istri K datang untuk berkonsultasi, Mereka menyatakan keheranannya akan anak gadisnya (N) yang sudah berusia 23 tahun, belum juga punya pacar. Setiap ada laki-laki berminat, serentak dia tolak, bahkan terkadang dengan cara terkesan kasar. Mereka berharap mendapat menantu yang mapan secara ekonomi karena menurut kedua orangtuanya N cukup rupawan dan banyak laki-laki mapan menunjukkan niat serius untuk menikahi N.

Ketika N akhirnya memenuhi panggilan saya sebagai psikolog, ternyata memang benar N perempuan rupawan. N juga satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara. N rupanya sudah tahu kedua orangtuanya berkonsultasi tentang masalah perjodohannya. Jadi, saat memenuhi panggilan, N langsung menangis tersedu-sedu dan dengan tersendat ia bercerita.

Kakak laki-laki nomor dua amat menyayangi N. Mereka terpaut usia dua tahun. Dia selalu menjaga ke mana pun N pergi, dan hubungan mereka amat erat, bermain bersama, dan selalu membela N saat kedua saudara lainnya mengganggu.

Keterbatasan kondisi sosial ekonomi kedua orangtua memaksa mereka tinggal di rumah yang hanya memiliki dua kamar tidur sehingga keempat anak berbagi satu ruang tidur dengan dua tempat tidur cukup untuk tidur dua anak.

N dan kakak tersebut terpaksa tidur satu tempat tidur, sementara dua saudara kandung lainnya di tempat tidur yang lain. Hubungan inses terjadi saat N berusia 15 tahun dan terjadi berulang. Bahkan, bila kakak tidak melakukan karena punya kesibukan dengan teman-temannya, N merasa rindu. Hubungan berlanjut hingga mereka cukup dewasa. Walaupun si kakak sudah bekerja di luar kota, manakala si kakak pulang hubungan terulang tanpa setahu siapa pun di rumah. Yang masih menguntungkan dalam kondisi ini adalah tidak pernah terjadi konsepsi sebagai hasil inses.

Dalam hal ini N benar-benar merasa bersalah dan berdosa. Selain tidak bisa memenuhi harapan orangtua, N juga menyadari hubungan inses sangat terlarang. N juga tidak berani menjalin hubungan serius dengan kawan lawan jenis, apalagi untuk tujuan berumah tangga karena N merasa bukan gadis lagi.

N tidak berani berterus terang kepada kedua orangtuanya karena yakin akan membuat mereka terkejut sehingga dengan berat hati ia memohon maaf kepada orangtua dan meminta izin tidak menikah, memilih berkarier mandiri, tanpa berani mengungkap kejadian sebenarnya. Hal lain yang terpenting adalah N berniat kuat untuk menghentikan hubungan inses dengan si kakak.

Selasa, 09 Juni 2009

Prita, Apa Salahmu?

Itet Tridjajati Sumarijanto

Entah mimpi apa, Prita Mulyasari harus masuk penjara. Entah mimpi apa pula, RS Omni Internasional masuk berita yang merusak reputasi lembaga itu.

Sekian tahun lalu tujuan berdirinya RS swasta modern adalah untuk mencegah pasien lari ke luar negeri. RS swasta tumbuh marak. Sayang, pembangunan rumah sakit-rumah sakit swasta baru sebatas mewahnya gedung dan peralatan canggih. Sedikit manajemen RS mewah memerhatikan kualitas pelayanan secara komprehensif yang didambakan pasien. Masih banyak pasien berobat ke negara tetangga.

Industri kesehatan

Kini, pelayanan kesehatan sudah menjadi industri, maka berlaku hukum ekonomi. Makin tinggi harga, makin tinggi kualitas barang yang diterima.

Hal serupa berlaku untuk kasus Prita. Dengan biaya RS yang tidak murah, semua layanan yang diterima harus seimbang. Keluh kesah Prita melalui e-mail kepada teman-teman seharusnya ditangani arif dan merupakan peringatan bagi RS untuk introspeksi, bahkan RS itu harus memberikan kompensasi. Jika saja jaksa tidak menahan Prita, bumerang terhadap RS Omni tak akan terjadi.

Tulisan ini adalah analisis e-mail Prita dari sudut medical record atau DRM (dokumen rekam medis). Masalahnya sepertinya sepele, tetapi fatal.

Pertama, RS tidak mau memberikan hasil pemeriksaan laboratorium untuk trombosit yang 27.000 iu meski pemeriksaan diulang dua kali. Kemungkinan bagian lab memberikan data yang salah atau milik pasien lain. Karena Prita awam, dia menggunakan kata ”fiktif” untuk hasil itu. Kemungkinan bisa dikatakan lalai karena hasil lab berada di pihak manajemen rumah sakit. Normalnya, tiap data pasien harus menjadi bagian DRM yang boleh diketahui pasien. Jika datanya benar dan tercantum dalam DRM, kasus menghebohkan ini tak perlu terjadi. RS bisa memberikan fotokopi DRM yang menjadi hak Prita.

Kedua, RS tidak memberikan data DRM yang diminta. Pertanyaannya, apakah RS tidak tahu bahwa itu adalah hak pasien. Atau data DRM tidak lengkap menggambarkan secara kronologis, sampai pada kesimpulan bahwa pasien terkena DBD.

Ketiga, manajer RS seorang dokter, meminta pasien (dalam keadaan sakit) menceritakan kembali apa yang terjadi. Ini ironis sekali. Bukankah dokter bisa membaca urutan kejadian dari DRM, mulai pukul berapa pasien diterima di UGD sampai menjadi pasien rawat inap; mulai dari anamnesis, data yang bersifat subyektif dari pasien sampai data obyektif melalui pemeriksaan fisik dan data penunjang medis. Yang terpenting ditanyakan adalah apakah pasien alergi terhadap obat, bahkan makanan tertentu.

Bergesernya angka lab pemeriksaan trombosit dari 27.000 iu menjadi 180.000 iu dalam waktu singkat perlu menjadi bahan evaluasi dokter. Apakah secara empiris ini pernah terjadi atau ada sesuatu yang janggal. DRM berperan penting sebagai alat untuk evaluasi kinerja dokter, perawat, bahkan petugas administrasi yang mendata identitas pasien.

Dari uraian itu, kemungkinan dokter tidak tahu arti pentingnya DRM. RS tidak membuat kebijakan penting DRM yang berkualitas yang harus diciptakan oleh siapa saja yang berkontribusi terhadap terciptanya DRM.

Tak beri keterangan

Soal dokter tidak memberikan keterangan obat yang disuntikkan merupakan etika komunikasi yang kerap menjadi bagian terlemah para dokter dan perawat. Inform consent (IC) minimal diperlukan saat pasien akan rawat inap, terutama jika ada tindakan (operasi) yang akan dilakukan dan saat DRM diperlukan sebagai bukti di pengadilan. Namun, apa saja yang diperlukan untuk IC bergantung pada kebijakan RS, misalnya untuk memberikan suntikan apa perlu IC.

Dalam aspek hukum, DRM menjadi alat bukti seluruh layanan yang diberikan RS terhadap pasien. Jika Prita harus berhadapan dengan pengadilan, DRM dipakai sebagai bukti dan dibawa seorang ahli medical record yang harus disumpah lebih dulu bahwa ia tidak menukar, mengurangi, atau menambah data atau informasi dalam DRM.

Perkembangan DRM di RS belum menjadi prioritas. Secara fundamental DRM merupakan salah satu alat guna meningkatkan mutu layanan rumah sakit, terutama dokter. RS pendidikan, seperti RSCM bersama UI, bertanggung jawab mencetak dokter, perawat berkualitas internasional, karena RSCM adalah RS Rujukan Tertinggi Nasional. Inilah yang harus diperhatikan siapa pun yang ingin mendirikan RS bertaraf internasional. Semua staf, terutama dokter, juga harus berkualitas internasional.

Kasus seperti Prita banyak yang tidak terungkap. Ini adalah wake up call bagi RS. Siapa yang berwenang memantau dan mengevaluasi mutu dokumen rekam medis di Tanah Air? Jika layanan rumah sakit di Indonesia serius mau bersaing dengan negara tetangga, itu adalah syarat utama yang harus dipenuhi.

Itet Tridjajati Sumarijanto Medical Record Administrator

Kamis, 04 Juni 2009

Prita "Lawan" RS Omni

Kartono Mohamad

Secara formal, pada umumnya penyedia layanan medis mengakui bahwa pasien mempunyai hak. Tetapi, dalam praktik, tidak banyak penyedia layanan medis yang memerhatikan atau bahkan memahami hal ini. Yang lebih sering diperhatikan hanyalah kewajiban pasien, terutama kewajiban untuk membayar.

Hal ini terutama akibat pola hubungan tidak seimbang antara pasien dan dokter, dengan dokter pada posisi yang lebih kuat dan dominan. Seolah sudah menjadi paradigma bagi para dokter bahwa pasien harus tunduk, menurut kata dokter, dan tidak boleh mengajukan banyak pertanyaan. Pemahaman bahwa pasien mempunyai hak tidak diperoleh ketika dalam pendidikan sehingga mereka akan merasa aneh jika dalam praktik ada pasien yang menanyakan banyak hal.

Namun, kini ketentuan bahwa pasien punya hak sudah dikukuhkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 52 disebutkan ada lima hak pasien, yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.

Banyak versi mengenai hak pasien ini, baik dari yang sudah menjadi UU maupun yang berupa pernyataan atau kesepakatan perkumpulan. World Medical Association mengeluarkan Deklarasi Hak Pasien dan American Hospital Association mempunyai A Patient’s Bill of Rights.

Semua pernyataan dan UU itu menyatakan, pasien mempunyai hak yang harus dihormati ketika ia berhadapan dengan penyedia layanan medis. Ada hal-hal yang disebut dalam UU atau deklarasi di negara lain yang belum secara eksplisit diutarakan oleh UU Praktik Kedokteran kita, yaitu hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang tidak diskriminatif, hak untuk dihormati dan dilindungi privacy-nya, dan hak untuk secepat mungkin mendapatkan solusi atas komplain yang diajukan terhadap penyedia layanan.

Tujuan

Di Amerika Serikat, UU tentang hak pasien dihasilkan oleh US Advisory Commission on Consumer Protection and Quality in the Health Care Industry pada tahun 1998. Disebutkan, pada intinya tujuan Patient’s Bill of Rights adalah, pertama, membuat pasien merasa lebih percaya terhadap layanan kesehatan. Kedua, menjamin bahwa penyedia layanan kesehatan akan bersikap adil (fair). Ketiga, penyedia layanan akan berusaha memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pasien (works to meet patient’s needs). Keempat, membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

Betapapun, keberhasilan upaya penyembuhan pasien amat bergantung pada rasa percaya yang imbal balik antara pasien dan dokter. Kepercayaan inilah yang harus selalu dijaga oleh penyedia layanan medis. Tanpa ada rasa percaya dari pasien, tidak mungkin upaya penyembuhan akan berhasil. Kecuali jika tujuan penyediaan layanan bukan untuk membantu kesembuhan pasien, tetapi semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak dan secepat mungkin dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien.

Dalam mencoba memberikan layanan terbaik, penyedia layanan harus juga siap menghadapi konflik yang dapat terjadi. Konflik dapat terjadi antara perbedaan persepsi dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan ”bahasa” dokter dengan pasien, dan ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik. Perasaan sebagai kasta tersendiri yang berada di atas kasta pasien dapat berperanan terjadinya komunikasi yang tidak empatik tersebut.

Prita dan Omni

Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni adalah contoh telah hilangnya komunikasi yang empatik itu, yang kemudian merusak rasa saling percaya yang seharusnya dibina. Maka, jika tujuan pelayanan kepada Prita adalah untuk membantu menyembuhkannya dari penyakit, tujuan itu telah gagal. Jika ditanyakan siapa yang bersalah dalam hal ini, kedua pihak akan mengklaim sebagai yang benar. Prita mempersoalkan mengapa hasil laboratorium yang menyatakan bahwa trombositnya 27.000 tidak boleh dilihat. Pihak RS Omni menyatakan, hal itu belum divalidasi, jadi masih rahasia. Menjadi pertanyaan, jika masih rahasia, mengapa Prita sudah mengetahuinya? Bukankah saat ia dianjurkan untuk dirawat, ada dokter yang menjelaskan trombositnya 27.000?

Rasa percaya Prita sebagai pasien menjadi lebih menurun lagi saat pertanyaannya tentang obat suntik yang diberikan tidak mendapat jawaban yang jelas. Mungkin pertanyaan Prita yang bertubi-tubi membuat pihak RS Omni tidak berkenan. Maka, rusaklah hubungan saling percaya antara penyedia layanan dan yang dilayani. Masalah melebar menjadi pengungkapan kekesalan melalui e-mail dan perasaan tersinggung dari pihak RS Omni yang merasa dicemarkan nama baiknya.

Persoalan yang bermula dari pertanyaan sederhana dari seorang pasien yang ingin tahu dan merasa meminta haknya berkembang menjadi masalah yang ruwet karena pihak RS Omni membalas e-mail Prita dengan iklan besar-besar di koran.

Kesan orang awam, dan mereka yang tidak tahu masalahnya karena tidak membaca e-mail, telah terjadi unjuk kekuatan yang tentu saja tidak imbang. Hal itu diperburuk dengan ditahannya Prita di penjara Tangerang. Seandainya saja saat itu RS Omni bertindak simpatik dan meminta agar Prita jangan ditahan karena mempunyai anak yang masih kecil, keadaan mungkin justru akan berbalik.

Pelajaran

Yang telah terjadi di Tangerang itu membuktikan bahwa pada umumnya penyedia layanan medis di negeri ini belum berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. Orientasi pada mutu layanan juga belum menjadi acuan.

Kalau menurut Charles B Inlander dalam buku Medicine on Trial, masih banyak medical ineptitude and arrogance yang membayangi penyedia layanan medis. Perbaikan pertama-tama harus datang dari pihak kalangan kedokteran sendiri, kemudian asosiasi rumah sakit, dan pemerintah.

KArtono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia