Selasa, 09 Juni 2009

Prita, Apa Salahmu?

Itet Tridjajati Sumarijanto

Entah mimpi apa, Prita Mulyasari harus masuk penjara. Entah mimpi apa pula, RS Omni Internasional masuk berita yang merusak reputasi lembaga itu.

Sekian tahun lalu tujuan berdirinya RS swasta modern adalah untuk mencegah pasien lari ke luar negeri. RS swasta tumbuh marak. Sayang, pembangunan rumah sakit-rumah sakit swasta baru sebatas mewahnya gedung dan peralatan canggih. Sedikit manajemen RS mewah memerhatikan kualitas pelayanan secara komprehensif yang didambakan pasien. Masih banyak pasien berobat ke negara tetangga.

Industri kesehatan

Kini, pelayanan kesehatan sudah menjadi industri, maka berlaku hukum ekonomi. Makin tinggi harga, makin tinggi kualitas barang yang diterima.

Hal serupa berlaku untuk kasus Prita. Dengan biaya RS yang tidak murah, semua layanan yang diterima harus seimbang. Keluh kesah Prita melalui e-mail kepada teman-teman seharusnya ditangani arif dan merupakan peringatan bagi RS untuk introspeksi, bahkan RS itu harus memberikan kompensasi. Jika saja jaksa tidak menahan Prita, bumerang terhadap RS Omni tak akan terjadi.

Tulisan ini adalah analisis e-mail Prita dari sudut medical record atau DRM (dokumen rekam medis). Masalahnya sepertinya sepele, tetapi fatal.

Pertama, RS tidak mau memberikan hasil pemeriksaan laboratorium untuk trombosit yang 27.000 iu meski pemeriksaan diulang dua kali. Kemungkinan bagian lab memberikan data yang salah atau milik pasien lain. Karena Prita awam, dia menggunakan kata ”fiktif” untuk hasil itu. Kemungkinan bisa dikatakan lalai karena hasil lab berada di pihak manajemen rumah sakit. Normalnya, tiap data pasien harus menjadi bagian DRM yang boleh diketahui pasien. Jika datanya benar dan tercantum dalam DRM, kasus menghebohkan ini tak perlu terjadi. RS bisa memberikan fotokopi DRM yang menjadi hak Prita.

Kedua, RS tidak memberikan data DRM yang diminta. Pertanyaannya, apakah RS tidak tahu bahwa itu adalah hak pasien. Atau data DRM tidak lengkap menggambarkan secara kronologis, sampai pada kesimpulan bahwa pasien terkena DBD.

Ketiga, manajer RS seorang dokter, meminta pasien (dalam keadaan sakit) menceritakan kembali apa yang terjadi. Ini ironis sekali. Bukankah dokter bisa membaca urutan kejadian dari DRM, mulai pukul berapa pasien diterima di UGD sampai menjadi pasien rawat inap; mulai dari anamnesis, data yang bersifat subyektif dari pasien sampai data obyektif melalui pemeriksaan fisik dan data penunjang medis. Yang terpenting ditanyakan adalah apakah pasien alergi terhadap obat, bahkan makanan tertentu.

Bergesernya angka lab pemeriksaan trombosit dari 27.000 iu menjadi 180.000 iu dalam waktu singkat perlu menjadi bahan evaluasi dokter. Apakah secara empiris ini pernah terjadi atau ada sesuatu yang janggal. DRM berperan penting sebagai alat untuk evaluasi kinerja dokter, perawat, bahkan petugas administrasi yang mendata identitas pasien.

Dari uraian itu, kemungkinan dokter tidak tahu arti pentingnya DRM. RS tidak membuat kebijakan penting DRM yang berkualitas yang harus diciptakan oleh siapa saja yang berkontribusi terhadap terciptanya DRM.

Tak beri keterangan

Soal dokter tidak memberikan keterangan obat yang disuntikkan merupakan etika komunikasi yang kerap menjadi bagian terlemah para dokter dan perawat. Inform consent (IC) minimal diperlukan saat pasien akan rawat inap, terutama jika ada tindakan (operasi) yang akan dilakukan dan saat DRM diperlukan sebagai bukti di pengadilan. Namun, apa saja yang diperlukan untuk IC bergantung pada kebijakan RS, misalnya untuk memberikan suntikan apa perlu IC.

Dalam aspek hukum, DRM menjadi alat bukti seluruh layanan yang diberikan RS terhadap pasien. Jika Prita harus berhadapan dengan pengadilan, DRM dipakai sebagai bukti dan dibawa seorang ahli medical record yang harus disumpah lebih dulu bahwa ia tidak menukar, mengurangi, atau menambah data atau informasi dalam DRM.

Perkembangan DRM di RS belum menjadi prioritas. Secara fundamental DRM merupakan salah satu alat guna meningkatkan mutu layanan rumah sakit, terutama dokter. RS pendidikan, seperti RSCM bersama UI, bertanggung jawab mencetak dokter, perawat berkualitas internasional, karena RSCM adalah RS Rujukan Tertinggi Nasional. Inilah yang harus diperhatikan siapa pun yang ingin mendirikan RS bertaraf internasional. Semua staf, terutama dokter, juga harus berkualitas internasional.

Kasus seperti Prita banyak yang tidak terungkap. Ini adalah wake up call bagi RS. Siapa yang berwenang memantau dan mengevaluasi mutu dokumen rekam medis di Tanah Air? Jika layanan rumah sakit di Indonesia serius mau bersaing dengan negara tetangga, itu adalah syarat utama yang harus dipenuhi.

Itet Tridjajati Sumarijanto Medical Record Administrator

Tidak ada komentar:

Posting Komentar