Minggu, 14 Desember 2008

Depresi Bukan "Baby Blues"



DOKUMENTASI SHANTI / Kompas Images
Shanti (30) pernah merasa tak berdaya sebagai ibu.
Minggu, 14 Desember 2008 | 03:00 WIB

Orang biasa menyamakan kondisi depresi pasca-melahirkan dengan baby blues. Padahal, kata Nalini Muhdi, psikiater dari Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, depresi pasca-melahirkan dan baby blues adalah dua kondisi berbeda.

Menurut Nalini, baby blues dan depresi pasca-melahirkan adalah gangguan alam perasaan yang terjadi pada perempuan terkait dengan kelahiran anak.

Bedanya, baby blues hanya terjadi dalam waktu singkat antara 3-14 hari, sedangkan depresi pasca-melahirkan bisa terjadi dalam rentang waktu satu tahun. Baik baby blues maupun depresi-pasca melahirkan bisa terjadi bukan hanya pada kelahiran anak pertama saja.

Baby blues adalah kondisi normal pada perempuan setelah melahirkan. Sekitar 80 persen perempuan melahirkan mengalami baby blues. Kondisi ini disebabkan perubahan hormon yang cepat serta stres fisik dan emosi karena melahirkan.

Perubahan hormon dan stres ini menyebabkan ibu mengalami ketidakstabilan suasana hati, mudah menangis, gampang sedih, kurang konsentrasi, dan merasa bergantung kepada orang lain.

Depresi

Depresi pasca-melahirkan lebih berat daripada baby blues. Gangguan alam pikiran karena depresi bisa terjadi selama berbulan-bulan (dalam rentang satu tahun) setelah kelahiran.

Menurut Nalini, depresi pasca-melahirkan dipicu tiga faktor saling berinteraksi, yaitu faktor biologis, psikologis, dan faktor sosial.

Perempuan yang berisiko terkena depresi antara lain yang memiliki riwayat depresi pada keluarga, pernah menderita depresi sebelumnya, hubungan buruk dengan suami atau tidak ada suami, kurang dukungan dari orang dekat, masa kanak-kanak yang sulit, komplikasi saat melahirkan pada ibu dan bayi, usia ibu terlalu muda atau tua, memiliki anak tanpa diharapkan, dan kesulitan keuangan.

Menurut penelitian Nalini, 15-20 persen perempuan melahirkan mengalami depresi. Ibu yang mengalami depresi dihinggapi perasaan marah, tertekan, bersalah, bingung, waswas, kesal, murung, dan khawatir.

Harapan yang tidak realistis juga bisa menyebabkan depresi. Mitos bahwa setiap ibu memiliki insting mengasuh sehingga pasti dapat merawat anaknya, bahwa setiap ibu langsung dapat terhubung secara positif dengan bayinya, bahwa kehidupan seorang ibu diliputi kebahagiaan dan romantis, dan bahwa memiliki kehadiran bayi dapat memperbaiki kehidupan perkawinan, adalah menyesatkan.

Kenyataannya, tandas Nalini, tugas pengasuhan anak bukan hal mudah dan perlu proses belajar agar ibu punya rasa percaya diri menjalani perannya sebagai ibu. Nalini menasihati, jangan ragu meminta bantuan. Meminta bantuan bukan berarti seorang perempuan tidak mampu menjadi ibu. (IND)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar