Minggu, 14 Desember 2008

Gelisah dan Tertekan Setelah Melahirkan


KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images
Wanda (38) dan tiga anaknya, Raffin (2,5), Vian (10), dan Darren (5).

Lusiana Indriasari

Hamil dan melahirkan adalah masa yang sangat melelahkan bagi perempuan. Bukan hanya fisik yang terkuras, tetapi juga psikis. Karena berbagai sebab, sebagian perempuan mengalami depresi pasca-melahirkan.

Setelah melahirkan anak keduanya, Ruli (35) mendadak bersikap ganjil. Ia menolak menyusui dan merawat si kecil. Bahkan terkadang Ruli punya perasaan benci terhadap bayinya sendiri.

Sikap aneh itu berlarut-larut hingga Juve berumur hampir satu tahun. Selama itu pula Ruli menyerahkan perawatan anak keduanya tersebut kepada ibunya, nenek Juve.

Meskipun tinggal serumah, Ruli lebih sering mengabaikan Juve. Ketika Juve rewel, Ruli terlelap tidur. Pada saat Juve merengek minta digendong, Ruli malah beringsut pergi.

”Satu-satunya keadaan yang membuat saya sedikit tergerak adalah ketika Juve sakit,” kata ibu dua anak itu. Setelah Juve sembuh, sikap Ruli berbalik seperti semula.

Sikap Ruli terhadap anak pertamanya, Gio (5), sangat berbeda. Terhadap Gio, Ruli bersikap selayaknya ibu. Ia sangat memerhatikan segala kebutuhan Gio, baik fisik maupun mental.

Ruli mengaku tidak tahu mengapa setelah Juve lahir ia justru tidak peduli terhadap anaknya. Padahal, sebelumnya ia sangat mengharapkan kehadiran anak keduanya itu.

Ruli lalu bercerita tentang perkawinannya. Ketika usia kehamilannya semakin tua, hubungan Ruli dengan Max (41), suaminya, mulai tidak harmonis. Instingnya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya.

Setelah Juve lahir, Ruli menemukan kenyataan suaminya sudah punya istri sebelum menikah dengan dia. Max bahkan belum bercerai dari istri pertamanya itu.

Kejadian itu membuat Ruli terpukul. Keadaan semakin menekan Ruli ketika uang belanja dari suaminya semakin berkurang. ”Setiap kali melihat Juve saya selalu ingat kebohongan suami,” tutur Ruli.

Tidak siap

Ruli adalah satu dari sekian banyak kasus depresi pasca-melahirkan yang kerap dialami ibu setelah melahirkan anaknya. Sebagian ibu mengaku tidak siap ketika depresi datang meski mereka punya pengetahuan tentang kondisi tersebut selama masa kehamilan.

Shanti (30) yang pernah bekerja di Jakarta dan kini tinggal di Yogyakarta mengungkapkan, ia banyak membaca soal baby blues dan depresi pasca-melahirkan, tetapi tidak sadar ketika depresi itu tiba.

Saat depresi datang, Shanti tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya. Yang ia rasakan adalah setelah melahirkan Iyog (8), Shanti menjadi sangat gelisah dan cemas.

Shanti merasa mendapat beban mengurus anaknya sendirian di Jakarta karena suaminya, Alan (31), harus bekerja di luar kota. Shanti tidak bisa ikut suaminya karena masih bekerja.

Karena sendirian dan belum punya pengalaman, Shanti dibantu ibunya untuk merawat Iyog. Tetapi, bantuan ini justru membuat dia semakin terpuruk.

”Ibu saya sangat tenang dan mahir merawat bayi. Iyog juga lebih tenang bersama neneknya, sementara bila berdekatan dengan saya, Iyog menangis terus. Saya jadi merasa tidak becus menjadi ibu,” tutur ibu dua anak ini.

Ketika anak keduanya lahir, Shanti juga mengalami rasa gelisah dan cemas, tetapi tidak sehebat ketika melahirkan anak pertama.

Kalau Shanti merasa tidak bisa merawat bayi, Wanda Hazman (38) justru mengalami perasaan ”cemburu” terhadap bayi pertamanya, Vian (sekarang 10 tahun).

Ibu rumah tangga yang tinggal di Bintaro, Tangerang, itu merasa setelah anaknya lahir, seluruh perhatian keluarga besar tertuju kepada Vian. ”Selama hamil saya sangat diperhatikan keluarga dan suami. Setelah anak lahir perhatian itu seperti direbut,” kata Wanda.

Karena kerap tidak bisa mengendalikan diri, depresi yang dialami ibu melahirkan ini bisa menimbulkan permasalahan di dalam keluarga, baik itu dengan suami, orangtua, atau keluarga besar.

Shanti mengaku sering cemberut kepada ibunya hanya gara-gara perbedaan cara merawat bayi. Shanti ingin merawat bayi seperti teori yang diajarkan di dalam buku, sementara ibunya merawat bayi berdasarkan pengalaman yang dia miliki. ”Mungkin karena sudah jengkel, ibu akhirnya ikut cemberut juga he-he-he,” kata Shanti.

Butuh dukungan

Depresi yang dialami perempuan melahirkan sebaiknya segera mendapat penanganan. Menurut psikiater sekaligus konsultan Women’s Mental Health di Surabaya, Nalini Muhdi, depresi yang dibiarkan berlarut-larut dapat memengaruhi hubungan ibu-anak.

Bila ibu stres, anak bisa mengalami gangguan perkembangan, seperti gangguan kognitif, bahasa, emosi, dan tingkah laku. Menurut Nalini, bayi memiliki perasaan sangat sensitif terhadap lingkungan interpersonalnya.

Karena itu, agar perempuan melahirkan segera terbebas dari depresi, dibutuhkan dukungan dari orang-orang di lingkungan sekitarnya. Dukungan itu bisa berasal dari suami, orangtua, atau sahabat.

Ruli berangsur bisa menerima kehadiran Juve setelah ia sering dikunjungi sahabat lamanya. Kunjungan itu sangat berarti buat Ruli karena ia bisa menceritakan semua keluh kesahnya. Sebelumnya, Ruli sempat pergi ke psikiater, tetapi ia enggan kembali berobat karena malu.

Sementara itu, Shanti dan Wanda bisa bangkit dari depresi setelah empat bulan berkat dukungan dari suami masing-masing. Wanda mengaku perhatian-perhatian kecil yang diberikan suami, seperti sapaan halus saat ia lelah, perlahan mengobati tekanan mentalnya. Sedangkan Shanti pulih setelah sering berkomunikasi dengan suami soal depresinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar