Minggu, 15 Maret 2009

Negara Tanpa Jaminan Sosial

Sulastomo

Cita-cita buat apa negara ini didirikan adalah mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Kesejahteraan yang berkeadilan sosial itu dapat terwujud melalui pengembangan sistem jaminan sosial.

Begitulah amanat UUD 1945. Namun, setelah lebih dari 60 tahun merdeka, program jaminan sosial belum mencapai 20 persen penduduk. Sebagian besar penduduk belum terlindungi program jaminan sosial. Hal ini tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga ekonomi. Sebab, cakupan program jaminan sosial juga mengindikasikan kemampuan ekonomi, selain tingkat kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial.

Lengah

Negara dapat dianggap lengah jika tidak peduli dengan pelaksanaan program jaminan sosial meski pemerintah telah banyak melancarkan program bantuan sosial dari Jamkesmas, bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin (raskin), dan sebagainya.

Hal ini disebabkan kita telah memiliki UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sejak tahun 2004 (UU Nomor 40 Tahun 2004) dengan amanat masa transisi sampai tahun 2009. Sampai menjelang berakhirnya tahun 2009, program jaminan sosial belum berjalan sebagaimana diamanatkan UU No 40/2004. Setidaknya, masih berjalan di tempat.

Sudah tentu hal ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan, khususnya di kalangan Serikat Buruh. Buat apa kita bekerja, kalau masa depan kita tidak terjamin? Tidak memiliki jaminan kesehatan (JK) dan jaminan pensiun (JP)? Apalagi, juga tidak memiliki jaminan pemutusan hubungan kerja (JPHK) meski berhak pesangon ketika PHK?

Pada kenyataannya, pesangon itu sering sulit terwujud disebabkan kemampuan perusahaan yang terbatas sehingga utang pesangon pada tahun 2008 mencapai lebih dari Rp 500 miliar? Demikian juga jaminan kecelakaan kerja bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri sehingga ketika mereka mengorbankan jiwanya saat bertugas, tidak memperoleh jaminan yang semestinya?

Berbagai faktor mungkin menjadi penyebab lambannya pelaksanaan UU No 40/2004.

Pertama, tidak adanya kesamaan persepsi di antara para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah. Persepsi antara ”jaminan sosial” (social security), ”bantuan sosial” (social assistance), dan ”pelayanan sosial” (social services) sering rancu.

Semuanya, sepanjang terkait dengan kesejahteraan sosial, dianggap jaminan sosial. UU No 40/2004 sebenarnya telah memberikan definisi yang jelas mengenai program ”jaminan sosial”. Ciri-cirinya, antara lain, sebuah program berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia, yaitu program jaminan kesehatan (JK), program jaminan kecelakaan kerja (JKK), program jaminan hari tua (JHT), program jaminan pensiun (JP), dan program jaminan kematian (JKM).

Mestinya hal tersebut juga menyangkut program jaminan pemutusan hubungan kerja, yang dalam hal ini termaktub dalam UU No 13/2003 tentang pesangon yang ternyata sering menimbulkan perselisihan disebabkan ketidakmampuan perusahaan menjamin dana pesangon itu.

Kedua, ada persepsi keliru, program jaminan sosial akan membebani anggaran negara. Padahal, justru sebaliknya. Negara akan amat terbantu dengan terselenggaranya program jaminan sosial melalui terbentuknya dana jaminan sosial, yang dapat amat bermakna, sehingga dapat memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi.

UU No 40/2004 bahkan akan meringankan beban anggaran negara melalui pembaruan program jaminan pensiun PNS/anggota TNI/Polri. Kontribusi peserta program jaminan sosial, khususnya program jaminan hari tua dan jaminan pensiun, akan mampu membentuk tabungan nasional yang amat besar sehingga bisa mendukung program pembangunan ekonomi bangsa.

Ketiga, adanya pemikiran yang menganggap penyelenggaraan program jaminan sosial sebagai suatu yang sulit, bahkan tidak layak untuk diwajibkan, sehingga sebaiknya program jaminan sosial diselenggarakan secara sukarela, bahkan diserahkan penyelenggaraannya ke masyarakat sendiri atau dunia usaha.

Keempat, kepentingan bisnis yang menganggap penyelenggaraan program jaminan sosial yang diselenggarakan sesuai dengan UU No 40/2004 merupakan ancaman bagi eksistensi perusahaan asuransi kesehatan dan asuransi jiwa swasta.

Kelima, kepentingan politik, sehingga para politisi lebih tertarik program bantuan sosial jangka pendek, populis, meski tidak akan berkelanjutan, bahkan akan membebani negara dalam jangka panjang. Beberapa pemenang pilkada adalah yang menjanjikan kesehatan gratis atau pendidikan gratis.

Perubahan paradigma

Kenyataan itu mengesankan bahwa sosialisasi UU No 40/2004 masih amat diperlukan, justru di kalangan para decision–makers, para elite politik, dan dunia usaha, bahwa tanpa penyelenggaraan program jaminan sosial akan sulit mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial.

Dampaknya, bisa mengganggu kelangsungan pembangunan ekonomi dan kehidupan dunia usaha. Dapatkah dibayangkan, jika pada tahun 2015 mendatang (misalnya) puluhan juta lansia tidak memiliki jaminan kesehatan dan jaminan pensiun? Dapatkah dibayangkan, jika pada tahun itu negara juga tidak akan mampu (lagi) memikul beban berat bagi penyelenggaraan program jaminan kesehatan dan jaminan pensiun para pensiunan PNS dan anggota TNI/Polri? Tidakkah semua itu bisa memicu ledakan sosial yang dahsyat? Dapatkah dibayangkan, jika Indonesia akan memperoleh predikat negara tanpa sistem jaminan sosial?

Perubahan paradigma tersebut diperlukan untuk dapat melakukan reformasi dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Antara lain, dengan mewujudkan program jaminan sosial bagi seluruh rakyat meski secara bertahap. Peta jalan untuk itu telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No 40/2004.

Sulastomo Mantan Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar