Selasa, 07 April 2009

Rendah, Komitmen Politik terhadap KB


Beberapa Pemerintah Daerah Hanya Berpikir Lima Tahunan

Kompas/Priyombodo
Diskusi terbatas mengenai keluarga berencana dan kependudukan berlangsung di harian Kompas, Jakarta, Senin (6/4). Diskusi dihadiri oleh narasumber, seperti (kiri-kanan) Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Muhadjir Darwin, Kepala Puslitbang KB-KR BKKBN Ida B Permana, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas Nina Sardjunani, Kepala Lembaga Demografi FE-UI Prof Sri Moertiningsih Adioetomo, serta Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Ascobat Gani.
Selasa, 7 April 2009 | 03:27 WIB

Jakarta, Kompas - Komitmen politik pemerintah daerah terhadap program Keluarga Berencana terbilang rendah setelah urusan KB diserahkan ke daerah. Dari 485 kabupaten dan kota yang ada di Indonesia, baru 64 persen yang memiliki lembaga yang mengurus KB.

”Beberapa pemerintah daerah lebih mementingkan pembangunan fisik dan bersifat jangka pendek lima tahunan,” kata Kepala Puslitbang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KB/KR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr Ida B Permana pada diskusi di harian Kompas, Senin (6/4).

Diskusi kemarin juga menampilkan pembicara lain, yakni Prof Sri Moertiningsih Adioetomo dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Bappenas Nina Sardjunani, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Muhadjir Darwin, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Ascobat Gani, dan Dubes Khusus PBB untuk MDGs di Asia Pasifik 2003-2007 Erna Witoelar.

Menurut Muhadjir Darwin, kebijakan pengendalian penduduk melalui program KB pada masa Orde Baru sarat dengan cerita sukses meskipun juga tidak bersih dari catatan negatif. Program KB dimulai tahun 1970 sudah terbukti menciptakan transisi demografi. Total fertility rate (TFR) turun dari 5,9 pada tahun 1965-1970 menjadi 2,76 pada tahun 1995-1997.

Saat ini angka TFR telah turun menjadi 2,3 di beberapa daerah, seperti Yogyakarta telah berada di bawah angka dua, yaitu 1,8. Namun, TFR tersebut mengalami stagnasi lima tahun terakhir.

”Namun, program KB tersebut menimbulkan banyak kritik karena cara-cara yang dilakukan Orde Baru ketika itu mengabaikan hak-hak reproduksi perempuan,” kata Muhadjir Darwin.

Dimensi kuantitatif

Ascobat Gani menuturkan, kegagalan program KB bisa menyebabkan ledakan jumlah penduduk. Dampak ikutannya pemerintah harus menyediakan kebutuhan pangan yang besar, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan fasilitas pelayanan lainnya.

Sri Moertiningsih Adioetomo bicara mengenai bonus demografi. Perubahan struktur umur penduduk dan menurunnya beban ketergantungan memberikan peluang yang disebut bonus demografi. Ini dikaitkan dengan munculnya suatu kesempatan, yang dapat dimanfaatkan untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat.

Bonus demografi memberi peluang untuk meningkatkan produktivitas dan memicu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas human capital. ”Pada tahap fertilitas tinggi pertumbuhan pendapatan per kapita terserap untuk memenuhi kebutuhan penduduk muda yang besar jumlahnya,” kata Sri Moertiningsih Adioetomo. (LOK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar