Jumat, 03 April 2009

Waspadai Batuk Berdahak

Kansa Izati, 1 tahun 10 bulan, membenamkan kepala ke dada ibunya yang tengah menunggu obat di apotek di Klinik Perkumpulan Tuberkulosis Indonesia di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Sejak enam bulan terakhir, bocah perempuan bertubuh kurus tersebut secara rutin dibawa orangtuanya berobat ke klinik itu karena menderita penyakit tuberkulosis.

Setelah rutin minum obat, batuk berkurang dan berat badannya juga naik,” kata Asih, ibu Kansa. Bocah mungil itu terserang batuk saat berusia tiga bulan. Berat badannya turun drastis, batuknya tambah parah, kadang disertai sesak napas.

”Saya mengira Kansa batuk biasa, tetapi kok tak sembuh- sembuh, padahal bolak-balik berobat,” ujar ibunya. Belakangan terdeteksi ada flek pada paru-parunya. Kini ia harus minum obat anti-TB beberapa bulan.

Hal serupa dialami Ny Gustini (40), ibu tiga anak. Awalnya ia mengira batuk yang dideritanya hanya gejala flu. Selama berbulan-bulan ia minum obat pereda batuk, tetapi batuk berdahak itu tak kunjung sembuh. Belakangan ia batuk disertai darah. Ia ketahuan menderita TB dengan basil tahan asam (BTA) positif atau menular. Baru diterapi tiga bulan, ia tidak lagi minum obat. ”Saya mengira sudah sembuh,” katanya.

Beberapa tahun kemudian, ia batuk lagi disertai sesak napas. Ternyata TB-nya kambuh. Ada cairan di paru-paru. Karena putus berobat, kini ia harus menjalani terapi suntikan selama 60 hari dan minum obat anti-TB.

Menular

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini ditemukan ilmuwan Jerman, Robert Koch, 24 Maret 1882. Seperti flu, TB menular melalui percikan batuk, bersin, atau ludah penderita. Mayoritas kasus TB terjadi di paru—TB bisa menyerang organ lain seperti selaput otak, tulang, serta kulit.

Gejala TB antara lain batuk berdahak, demam, dahak campur darah, berat badan turun drastis, nyeri dada, sesak napas, berkeringat pada malam hari. ”Gejalanya kayak orang tak tahu kalau kena TB,” kata Kepala Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Priyanti.

Seseorang dicurigai menderita TB jika ada riwayat kontak atau serumah dengan pasien TB dengan BTA positif. Yang berisiko tinggi tertular mereka yang ada di penjara, rumah sakit, dan pengguna narkoba suntik.

Pemeriksaan awal TB adalah tes Mantoux—penyuntikan tuberkulin di bawah kulit terluar. Diagnosis paling tepat adalah pemeriksaan bahan dari penderita yaitu dahak, bilasan lambung, dan biopsi, atau tes BTA positif, dan foto rontgen paru.

Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah penderita TB di dunia setelah India dan China. Secara global, WHO memperkirakan tiap tahun ada 9,2 juta kasus TB baru dan 1,7 juta orang meninggal karena TB.

Kesadaran berobat rendah

Di Indonesia, pasien sering tidak berobat hingga tuntas karena jenuh, efek samping obat seperti mual, merasa lebih baik setelah dua bulan pertama. Penyebab lain yaitu faktor ekonomi dan hambatan transportasi.

”Padahal kuman belum terbasmi seluruhnya,” kata Priyanti. Akibatnya, kuman TB bisa kebal obat-obatan anti-TB lini pertama, terutama rifampisin dan INH. Terjadi multidrug resistant (MDR). Pasien ini hanya bisa diobati dengan obat lini kedua yang jumlahnya terbatas, mahal, efek samping lebih besar.

Di Indonesia, WHO memperkirakan tahun 2006 insiden kasus TB 534.439 orang dan jumlah kematian 88.113 orang. Prevalensi TB turun 42 persen ketimbang tahun 1990. Tahun 2008 temuan kasus TB 285.243 orang. Insiden semua kasus 223 per 100.000 orang, insiden kasus menular 101 per 100.000 orang, prevalensi BTA positif 130 per 100.000 penduduk.

Juga belum semua orang tahu cara penularan, pencegahan, serta pengobatan TB. Orang tak tahu kalau dirinya menderita TB. Padahal, bila tidak berobat, dia bisa menularkan.

Kini dunia dihadapkan pada kuman TB yang kebal terhadap obat secara ekstrem (extensive drug resistant/XDR) akibat pasien TB MDR tidak diobati dengan baik. ”Dalam kasus XDR, kuman kebal terhadap sebagian obat anti-TB lini kedua, yaitu fluorokuinolon dan obat suntik, sehingga tak bisa diobati,” ujar Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Tjandra Yoga Aditama.

Untuk itu, diterapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS) sejak 1995 atas rekomendasi WHO. Namun, baru 30 persen dari 1.268 RS di Indonesia menjalankan DOTS -meliputi pemeriksaan dahak, pasien berobat 6-9 bulan didampingi pengawas menelan obat, yaitu petugas kesehatan dan orang dekat pasien.

Tantangan lain ke depan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang TB, implementasi DOTS, pengobatan pasien TB MDR, ancaman kasus MDR/XDR akan kian nyata. (EVY RACHMAWATI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar